Pontianak, 15 Juni 2014
Assalamu’alaikum jiwa yang sedang getir...
Balasan suratmu menyiratkan kalau kesedihan yang mengelilingimu kemarin sudah perlahan hilang dan lari kocar-kacir. Cinta timbal balik dengan ibu memang tak bisa digantikan insan lain yang cuma mencintai di balik tabir. Dengan keikhlasan, meski ibumu sudah pergi, percayalah, cintanya akan tetap mengalun melalui sapaan alam yang senantiasa menyampaikan salam hingga senyum akan melekat di bibir.
Ehmm, mengenai pasangan, aku memang pernah memiliki seseorang yang setiap pagi tak lupa membuatkanku kopi secangkir. Faihatun Syahma, begitu namanya terukir. Gadis manis, humoris, agamis, romantis bahkan mencintai Hawadis dengan komitmen yang terus terjaga dalam alir.
‘Hawadis, menikahlah dengan anakku, Faihatun Syahma,’ begitu kalimat ayahnya saat memintaku jadi menantu, padahal aku termasuk orang yang fakir. Ingin sekali memang aku menikah, tapi kala itu aku masih tidak punya apa-apa, sedangkan ayahnya tersebut orang yang paling kuhormati karena kedermawanannya menolongku saat telantar jauh dari kota tempat lahir.
Jawabku, ‘Maaf Pak, bukannya saya menolak, tapi saya baru saja membangun usaha kecil yang mungkin hanya sanggup menghidupi diri sendiri, itu pun hanya kebutuhan lahir dengan makan sayur sekaligus berlaukkan kecipir.’
‘Kamu ini Haw, hahaha, masalah rizki Allah sudah mengatur, menikah juga membuka pintu rizki karena meningkatkan silaturahim dan bertemu orang-orang baru, sehingga meluaskan jaringanmu dengan sangat cepat seperti sihir. Lagian aku dan anakku juga bisa membantu mengembangkan usahamu meski aku orang yang tidak terlalu tajir.’
Memang, yang dikatakannya semua benar, ustad kita dulu juga sering mengatakan kemisteriusan rizki di balik pernikahan yang berkah karena ketaatan pada Allah, sehingga semua ketakutan akan kemelaratan terusir. Namun, sepertinya aku menolak bukan karena takut tetap fakir, mungkin karena dalam jiwa mudaku kala itu masih mendambakan gadis manis dan humoris, sedangkan aku tidak pernah bertemu dengan anaknya, ditambah lagi sikap ayahnya begitu berwibawa yang membuat aku berprasangka anaknya pun pastilah seorang yang kaku dan senyumnya susah mencair.
Oh, betapa terkejutnya saat aku bertemu dengan anaknya itu, sungguh manis dan memiliki senyum yang menyihir. Padahal itu pertemuan pertama, tapi aku bisa berbicara banyak seolah lama mengenalnya sejak lahir. ‘Question and answer’ terus berganti meskipun banyak pertanyaan tak penting, tapi pertemuan tak sengaja di toko buku itu membuat keinginanku menikahinya tumbuh membesar dan mendadak seperti petir.
Rasanya, semua ketakutanku sirna, atau mungkin karena kemanisan rupa, entahlah, yang jelas aku langsung melamarnya, tapi lamaranku tidak langsung diterima karena beberapa hari sebelumnya aku menolak dan membuat Faihatun Syahma, yang belum kukenal, sedih dengan air mata mengalir.
Saat itu mereka juga tidak menolak dan membuat persyaratan agar aku menjaga pendirian menikahi Faihatun dan mengantarkan surat ayahnya, yang tak boleh aku baca, kepada kepala suku di suatu daerah pedalaman Kapuas Hilir. Tiga hari itu aku bersungguh-sungguh melakukan perjalanan yang ternyata masih penuh lumpur dan harus menyeberangi sungai, meski harus berpanas terik, aku tidak ambil pikir.
Untuk menemui kepala suku, aku diharuskan memotong hewan sebagai korban dan meminum tuak barang secangkir, tapi aku tidak meminumnya karena hal itu diharamkan, namun aku sudah memotong hewan korban yang ketentuan mereka jika tidak diikuti meminum tuak, maka aku harus membayar denda dengan menikahi salah satu anak gadis kerabatnya di kota, aku terdiam dan hanya bisa menggigit bibir.
Veteran III nomor 20, rumah Faihatun, aku melangkah ke sana dengan wajah tertunduk karena gagal menjaga pendirian, bukan karena suratnya tak tersampaikan, tapi karena aku sudah menerima keputusan pernikahan dengan anak gadis kerabat kepala suku demi tanggung jawab dan menjaga keharmonisan, saat itu Faihatun dan ayahnya menyambutku dengan senyum, tapi jika tahu aku gagal, pastilah wajah mereka datar dan mencibir.
Veteran III nomor 20, rumah Faihatun, aku melangkah ke sana dengan wajah tertunduk karena gagal menjaga pendirian, bukan karena suratnya tak tersampaikan, tapi karena aku sudah menerima keputusan pernikahan dengan anak gadis kerabat kepala suku demi tanggung jawab dan menjaga keharmonisan, saat itu Faihatun dan ayahnya menyambutku dengan senyum, tapi jika tahu aku gagal, pastilah wajah mereka datar dan mencibir.
‘Wahai anakku, menikahlah dengan Faihatun,’ sesungguhnya kami sudah bekerja sama dengan kepala suku, kerabatku, untuk menggagalkanmu, karena kami ingin tahu apakah kamu lebih mementingkan menikahi Faihatun yang manis ini atau mementingkan tanggung jawab yang menjadi kewajiban yang harus dipenuhi, tentu kamu akan memilih menikahi Faihatun jika keinginanmu menikah bukan karena Allah melainkan karena kecantikan wajah yang membuat hati berdesir.’
‘X’ yang berarti gagal dan membuat murung, kini berubah menjadi senyum, karena kegagalanku memenuhi persyaratan, makanya aku berhasil menikah dengan Faihatun Syahma yang selalu menghias hariku dengan tawa yang melekat di bibir.
Ya, begitulah aku menemukan pasangan yang manis, agamis, humoris dan romantis, namun senyum yang tersungging di bibir tidak berlangsung lama, karena dia sudah mencapai kehidupan tahap akhir.
Ziarah dan doa lah yang bisa kulakukan untuk menemaninya sekarang, oh iya, ini aku lampirkan fotonya, biar cemburumu tumbuh dan menyalahkan cermin, hehehe, sekian suratku kali ini, balaslah dengan cerita tentangmu, karena aku juga ingin mendengar darimu langsung, bukan dari mereka yang nyinyir.
Pendambamu tanpa akhir
Yang merindukan hujanmu meneteskan syair
Lampiran:
*Foto oleh Bang Bollak (hanya sebagai Ilustrasi)
NB:
Nah lho ini beneran si penulisnya apa bukan bang? kayak pernah dengar cerita soal itikaf di mesjid itu...
BalasHapuspenulis apa? ada yang beneran nyata ngalamin? waduh.... ganti ah.. *mikir cari ide lain @@, *
HapusFoto cewek ilustrasi-nya lumayan... *salah fokus*
BalasHapusCerita bagian "X yang berarti gagal....." itu keren yak. Pas banget dapet X. Hahaha
iyah, cantik :-d
Hapusgue juga gak nyangka, bisa kebetulan begitu... @@,
dari A samapi Z, semuanya memiliki arti. keren bang haw :D. btw, ikut salah fokus ahhh #lliatfotocewek
BalasHapusbukan ari sih sebenarnya, itu gue maksain bikin lanjutan surat dengan konsep alfabet. tapi karena ngejar konsep dan alur cerita yang bisa dimengerti, jadi kalimatnya banyak yang panjang (banyak pake koma).
Hapuseh, jangan lama-lama liat fotonya... entar naksir @@,
Wii.. lengkap semuanya nih mantep. mikir keras ngga kak haw buat nyari kata-kaya Q, X, V, Z-nya? hahaha
BalasHapushahaha... untuk Q awalnya itu Qiyamul lail, tapi ada perubahan cerita jadi diganti Question. yang X itu gak mikir, waktu diketik tiba-tiba aja langsung dapet ide. yang V ini agak lama dapetnya, tapi karena pernah nemu nama jalan dari V, jadi gak masalah. Z sih emang sejak awal ceritanya akan ada yang meninggal, jadi Ziarah udah pasti masuk list... hehehe =D
Hapusastaga..
BalasHapusbaru pertama kali baca surat berrantai "alfabet" gini, keren loh, Bang.
^_^
Alfabet yang maksa tepatnya :D
Hapustapi sebenarnya sih, isinya yang pengin ditonjolkan...
#fail
hm... miris bacenye. kasian benar gak si hawadis tu.=(
BalasHapusaok, traktir die lah Res... sebagai perayaan ulang tahun sekalian... |o|
Hapus*banting-banting cermin*
BalasHapusKeren Haaaww.. Setelah alfabet, besoknya coba buat yang numerik yaa.. :D
*ikutan mikir*
Jangan alfabet deh mbak... udah ada yang pernah nyanyiin... Budi Doremi...
HapusSuratnya (hawadis & silvia) ini mau gue tamatin :( sekitar 3 surat lagi...
Numerik, Haw... Alfabetnya kan sudah.. Tapi.. Mana ada Ikan Gurami bisa nyanyi? Ngaco kamu, ah.
HapusPlease.. Aku mau request. Suratnya jangan dibikin Sad Ending, dong. :(
Happy Ending biar pembacanya ikutan bahagia. |o|
Maksudnya itu *typo*
Hapusaku maunya juga happy ending, tapi tergantung takdir...
ini lagi mikirin gimana baiknya... *mikir*
Ceweknya cakep lho itu *salah fokus*
BalasHapusSuratnya juga keren, gue suka sama isi ceritanya, trus itu ceweknya cakep bener *lagi2*
hoi hoi hoi.. jangan ditaksir... *padahal udah dipilih yg mukanya gak terlalu keliatan*
Hapussatu kata *waw*
BalasHapussaya "Haw" bukan "waw", kak. ^_^
Hapus