Apakah Lagu Joko Tingkir Ngombe Dawet Beneran Merendahkan Ulama?

joko-tingkir-ngombe-dawet
1) Lagu Toko Tingkir
Assalamu’alaikum…

Saya pernah menuliskan bahwa kalo diminta me-review sebuah lagu, saya akan mengibarkan bendera putih secepatnya. Selain buta nada, dan kurangnya dalam berbagai hal mengenai musik, saya juga kesulitan dalam menginterpretasikan lirik dari sebuah lagu.

Meski demikian, ada sebuah lagu yang saat ini seolah lenyap. Sudah tidak pernah terdengar lagi, bahkan disenandungkan oleh orang random yang sedang lewat pun tidak. Wajar, sih, jika lagu yang sempat viral mulai tergantikan. Namun, kalo mendadak lenyap begini, kan, terasa aneh.

Lagu dangdut, Joko Tingkir

Masih terdengar ada yang menyanyikan nggak, sih, di tempat kalian? Di tempat saya sudah nggak ada lagi. Biasanya, ada anak-anak yang sepulang ngaji atau madrasah akan berteriak menyanyikan lagu tersebut. Malah lagu “entah apa yang merasukimu” yang sesekali masih mereka teriakkan.

Sempat saya tanyakan kenapa mereka sudah nggak menyanyikan lagu itu lagi. Dijawabnya, dilarang ama guru ngajinya. Kok, bisa? Saya cari tahu, dong, di gugel. Ternyata sempat rame beritanya. Lagu tersebut dianggap menghina ulama besar yang namanya disebutkan.

Liriknya, kan, begini.

Joko Tingkir ngombe dawet
Jo dipikir marai mumet
Ngopek jamur nggone Mbah Wage
Pantang mundur, terus nyambut gawe
(Pantang mundur, terus nyambut gawe)

Ning Purwokerto tuku ketan
Iki crito anak rantauan
Lombok rawit, pedes tenan
Golek duit kanggo masa depan
(Golek duit kanggo masa depan)

Rokok klobot ning ngisor wit mlinjo
Paling abot ninggal anak-bojo
Tuku donat ning Kalimantan
Tetep s'mangat kanggo masa depan
(Tetep s'mangat kanggo masa depan)

Godong kenikir, godong koro
Jo dipikir aku arep ngeliyo
Mangan jamur, mangan koro
Aku jujur, kowe ra percoyo
(Aku jujur, kowe ra percoyo)

Di beritanya dituliskan, bahwa penggunaan nama Joko Tingkir yang diterangkan membeli dawet tersebut dianggap merendahkan. Sebab, Joko Tingkir aslinya adalah seorang raja sekaligus menantu Sunan Kalijaga. Dengan kata lain, beliau termasuk ulama besar.

Nah, orang-orang yang menghormatinya menilai bahwa lirik lagu ini seolah merendahkan. Makanya sampai disomasi, penulis lagunya minta maaf, kemudian liriknya diganti. Hingga lima berita yang saya baca, saya belum paham bagian menghinanya di mana.
googling-berita-joko-tingkir
2) Beberapa yang memberitakan
Awalnya saya pikir mungkin nggak boleh memasukkan nama orang terhormat ke dalam lagu dangdut. Namun, saat melihat ada yang bersalawat (menyebut nama tokoh tauladan dan Tuhan) dengan irama yang sama seperti di lagu dangdut, kayaknya bukan perkara nama dan iramanya, dah.

Karena perubahan dalam lagu tersebut adalah lirik yang mengandung kalimat “Joko Tingkir ngombe dawet”, saya berkesimpulan lirik tersebutlah yang dianggap bermasalah atau dianggap merendahkan. Mungkin, nggak boleh nama tokoh besar yang dihormati, disandingkan dengan tindakan yang biasanya dilakukan oleh orang kecil.

Lagu memang bebas dimaknai

Makanya setiap orang akan memiliki penafsiran yang berbeda tentang sebuah lagu. Terutama kalo belom melihat dan menelaah lirik aslinya. Kayak lagu Jujur-nya Kerispatih, yang nggak tahunya tentang kaum sesama jenis.

Atau lagunya Bob Marley yang No woman No Cry. Kita semua sempat beranggapan bahwa lagu tersebut tentang kesedihan seorang lelaki yang diakibatkan oleh perempuan. No woman, no cry. Tak ada perempuan, tak ada tangisan.

Padahal, di liriknya, kan, no, woman, no cry. Yang kalo diterjemahkan jadinya “Jangan, Neng. Jangan nangis.” Itu lagu tentang orang yang mencoba menenangkan seorang gadis yang sedang sedih.

Kalo lagu lain yang dikritik dan sampai mengganti liriknya, ada Sheila On 7 dan Wali. Lagu Pejantan Tangguh ama Emang Dasar (kamu bajingan) dianggap terlalu kasar. Kritiknya diterima, liriknya diganti dengan kata yang lebih bisa diterima oleh banyak kalangan.

Namun, lirik lagu Joko Tingkir tadi, kan, nggak kasar

Nama yang tersebut malah mulia. Membeli dawet juga biasa saja. Lalu, kenapa saat kedua hal ini digabungkan, malah jadi bermasalah? Kalo mainan lawakan, ada itu yang istilahnya dua kata lucu, tiga kata lucu. Ini mungkin empat kata mancing perkara.

Saya penyuka lagu dangdut. Saya juga suka dengan lagu Joko Tingkir ini. Makanya, saat tahu lagu ini disomasi, saya menelaah ulang liriknya. Sampai berkali-kali saya baca perlahan dan merenungkan pun, tetap saja nggak nemu di mana letak merendahkannya.

Lagu ini memiliki lirik yang berupa pantun. Nama Joko Tingkir dan membeli dawet tadi merupakan sampiran. Begitu pun dengan beberapa lirik setelahnya. Isi dari pantun atau makna lagu tersebut secara keseluruhan tentang tekad kepala keluarga dalam mencari nafkah. Bagus malah. Mencari nafkah bukan hal yang hina, dong?
mencari-nafkah
3) Mencari nafkah hingga ke Kalimantan
Sudah lebih jelas, berarti memang kombinasi nama Joko Tingkir yang diterangkan membeli dawet ini yang dimaknai sebagai penghinaan. Yang berarti, menyebut Joko Tingkir membeli dawet merupakan ketidaksesuaian logika. Dawet itu jajajan es di masa sekarang, sedangkan Joko Tingkir hidupnya di ratusan tahun yang lalu. Bisa terkesan cerita bohong.

Mungkin itu masalahnya. Sebab saya tidak menemukan alasan lain dari kombinasi nama dan kegiatan tersebut yang berpeluang menimbulkan hinaan. Makanya, agar kita bisa menyadari bersama bahwa lirik tersebut benar-benar menghina atau tidak,

Kita harus mengenal sedikit lebih jauh tentang Joko Tingkir dan dawet

Joko Tingkir memiliki nama asli Mas Karebet lahir pada tahun 1520-an. Merupakan anak dari Kebo Kenanga atau Ki Ageng Pengging (meninggal di masa pemerintahan Raden Patah). Setelah kedua orang tuanya meninggal, Mas Karebet diasuh oleh Nyi Ageng Tingkir yang tinggal di lereng gunung dekat Salatiga dengan nama desa Tingkir. Karena besar di sana, makanya Mas Karebet dijuluki Joko Tingkir.

Guru pertamanya adalah Sunan Kalijaga. Beliau juga belajar pada Ki Ageng Selo. Meski kematian ayahnya berhubungan dengan kerajaan Demak, Joko Tingkir tak menyimpan dendam sama sekali. Malah beliau mengabdikan dirinya pada kerajaan Demak.
joko-tingkir
4) Ilustrasi lukisan wajah Joko Tingkir
Joko Tingkir dikenal sangat bijaksana, terutama dalam menangani perebutan tahta kerajaan. Hingga akhirnya beliau diangkat menjadi Sultan Pajang dengan gelar Hadiwijaya.

Di sejarah tersebut tidak jelaskan makanan favoritnya atau kegiatan hariannya. Sehingga, apakah beliau pernah membeli dawet atau tidak, belum bisa kita ketahui.

Lalu kita tinjau dawetnya

Dawet merupakan minuman khas dari desa Jabung, Ponorogo, yang terbuat dari tepung beras, santan dan gula merah. Berdasarkan catatan dari prasasti Taji Ponorogo yang berasal dari abad ke-10, dawet saat itu tidak memiliki warna (bening).

Setelah berpuluh tahun meredup, menjelang abad ke 15 dawet kembali populer. Malah lebih populer dari sebelumnya. Penyebabnya, bupati Ponorogo Bathoro Katong mengenalkan dawet sebagai minuman yang juga memiliki manfaat penyembuhan. Ada orang yang memverifikasinya pula (Warok Suro).

Bathoro Katong kemudian mengenalkan minuman ini kepada kakaknya, Raden Patah di kesultanan Demak, dan beliau menyukainya. Agar semakin menarik, dawet yang awalnya bening tersebut diberi pewarna menggunakan perasan daun pandan sehingga berwarna hijau.

Hal ini menjadikan dawet makin dikenal dan menyebar cepat ke seantero Jawa Tengah. Bahkan sampai ke kerajaan negeri tetangga. Di masa yang lebih maju selanjutnya, dawet di-upgrade dengan penemuan saat itu, es batu. Sehingga rasanya semakin lebih segar.
dawet
5) Dawet

Sekarang kita sesuaikan rentang waktu keduanya

Mas Karabet lahirnya tahun 1520-an. Digelari Joko Tingkir saat beranjak remaja/dewasa, 1540-an. Wilayah yang beliau diami merupakan wilayah kerajaan Demak. Bahkan beliau diangkat menjadi prajurit pengawal di kerajaan tersebut.

Nah, dawet sendiri sudah ada sejak abad ke-10, 1100 M dan sangat populer di wilayah kerajaan Demak. Terutama di masa pemerintahan Raden Patah. Ayahnya Joko Tingkir meninggal setelah didesak oleh Sunan Kudus untuk menghadap ke ibukota (kerajaan Demak). Sunan Kudus ini ditugaskan oleh sultan Demak, Raden Patah.

Berarti, Joko Tingkir tiggal di kerajaan Demak tepat setelah dawet mulai populer. Secara logika, apakah tidak mungkin Joko Tingkir ikutan membeli dawet juga saat itu? Sangat mungkin, bukan?

Artinya pula, lirik di lagu dangdut tadi benar adanya

Nggak ada kebohongan di liriknya. Malah bisa dikatakan menceritakan sejarah. Mengedukasi. Kenapa malah disomasi? Kalo mau melihat dari segi makna simbolis, kita bisa melihat pelajaran kerendahan hati di sana.

Seorang raja yang bijaksana, ulama besar, tapi tidak angkuh dalam memilih hidangan. Dawet yang dikenal sebagai minuman rakyat kala itu pun tetap beliau konsumsi. Beliau nggak minta hidangan yang sulit ditemukan di lingkungan rakyatnya seperti Soupe A L’oignon, Croque Monsieur, Erk Soos atau Qamar El Din.





Sumber gambar:
1) https://kumparan.com/katalog-musik/lirik-lagu-joko-tingkir-ngombe-dawet-aldi-embrian-1yCUea9cfP3
2) google.id kata kunci "lagu joko tingkir ngombe dawet dianggap menghina"
3) https://mandiriamalinsani.or.id/mencari-nafkah-dalam-pandangan-islam/
4) https://www.laduni.id/post/read/517026/biografi-joko-tingkir-mas-karebet-pendiri-kesultanan-pajang
5) https://www.fimela.com/food/read/5243105/resep-es-dawet-susu-tanpa-santan
Previous Post
Next Post

Oleh:

Terima kasih telah membaca artikel yang berjudul Apakah Lagu Joko Tingkir Ngombe Dawet Beneran Merendahkan Ulama? Apabila ada pertanyaan atau keperluan kerja sama, hubungi saya melalui kontak di menu bar, atau melalui surel: how.hawadis@gmail.com

0 Comments:

--Berkomentarlah dengan baik, sopan, nyambung dan pengertian. Kan, lumayan bisa diajak jadian~