Mana Yang Lebih Penting, Adab atau Ilmu?

adab dan ilmu
1) Adab dan ilmu
Assalamu’alaikum…

Beberapa hari terakhir, di berbagai media sosial yang saya ikuti perkembangannya, seringkali muncul konten yang membandingkan antara adab dan ilmu. Kesimpulan yang diberikan oleh mereka di akhir kontennya, hampir semua menyatakan bahwa adab itu lebih penting dibandingkan ilmu. Adab dulu, baru ilmu kata mereka. Orang berilmu yang dianggap gak punya adab, ditudingnya sebagai makhluk yang menjengkelkan.

Entah kenapa bisa mereka menyimpulkan demikian. Karena sulit dan mahalnya menuntut ilmu, tapi masih mau tetap terlihat “bersinar” di lingkungan sosial mungkin. Atau karena beberapa kali disakiti oleh sikap orang-orang yang kebetulan berpendidikan tinggi. Atau mungkin juga karena diajarkan begitu secara turun-temurun. Entahlah.

Pemikiran gua, ya, “lu punya adab, lu, punya kuasa, tapi buat gua nggak”

Gimana? Udah seolah ngikutin yang lagi rame-rame di media sosial belum? Hehe. Kalo di lingkungan tempat tinggal saya, mereka yang berprinsip bahwa adab lebih baik dibanding ilmu, biasanya akan berkelompok dan “membicarakan” seseorang yang berilmu yang mereka kenal. Awalnya akan mereka identifikasi atau di-review baik jenjang pendidikannya maupun pekerjaannya saat ini.

Kemudian pelan-pelan mereka akan menyorot beberapa hal yang tidak mereka sukai. Seperti kurang menyapa, jarang mengobrol rame-rame bersama mereka, dan lain-lainnya lagi yang diambil dari dugaan-dugaan mereka masing-masing. Kalo si target yang diomongkan ini kebetulan lagi bersama mereka dalam suatu acara, nggak jarang obrolan nyaring mereka diarahkan pada petuah “adab lebih penting daripada ilmu pendidikan”.
adab dulu
2) Adab dulu, baru ilmu?
Seolah, kalo orang berilmu/berpendidikan tinggi, sudah pasti tidak beradab. Sebaliknya, orang yang tidak menuntut ilmu tinggi-tinggi, biasanya dianggap lagi fokus memperbaiki akhlaknya. Sampai di situ sebenarnya saya sudah mulai bingung. Kok, bisa sampai ada pembahasan untuk membandingkan dua hal baik, yang jika memiliki keduanya itu nggak dilarang sama sekali. Sama kayak antara paham dan menghafal.

Bukankah kalo orang beradab dan berilmu itu paling baik?

Nggak ada yang akan marah juga, kan, kalo kita berilmu dan juga tetap berperilaku baik pada orang lain. Ketika dialihkan ke arah tersebut, mereka biasanya akan menekankan bahwa perbandingan yang mereka lakukan tadi tentang prioritas. Adab harus didahulukan daripada ilmu. Bahkan mereka akan memberikan perumpamaan, “adab itu pintu mendapatkan ilmu, jadi harus didahulukan.”

Padahal, sepemahaman saya selama ini, adab justru bagian dari ilmu itu sendiri. Jika ilmu adalah sebuah pohon, adab merupakan salah satu cabangnya. Ilmu dalam berinteraksi sosial.

Saya pernah dapat nasihat dari guru ngaji saya, beliau mengatakan bahwa ilmu itu lebih tinggi daripada adab. Nabi Adam, menjadi makhluk paling sempurna dan lebih mulia dari makhluk lainnya karena ilmu. Saat Tuhan menanyakan nama benda pada makhluk lainnya, nggak ada yang bisa menjawab selain Adam. Makanya, mereka disuruh untuk bersujud kepada Adam. Karena lebih berilmu.

Orang-orang yang merendahkan ilmu atau pendidikan dan mengutamakan adab, biasanya akan menukil kisah junjungan yang dimuliakan. “Adab itu ajaran tiap agama, dan agama adalah hal paling utama di dunia.” Hei, bahkan agama itu sendiri bagian dari ilmu. Ilmu memahami sang pencipta.

Nabi, orang yang paling beradab saja, mengajarkan untuk tidak bersikap sopan

Konteksnya, perintah bagi perempuan atau bagi para kiyai. Ada ilmunya. Para perempuan (waktu itu para istri nabi) diajarkan agar tidak bersikap sopan atau lemah lembut saat melewati atau berhadapan dengan lawan jenisnya. Karena sikap sopan dan ramah perempuan sering sekali dianggap sebagai rasa tertarik terhadap lawan jenis. Dikira demen.

Padahal, kan, cuma bersikap ramah dan sopan, doang. Nggak ada niatan menjalin asmara juga. Makanya dijadikan peringatan agar tidak bersikap sopan. Judes lah! Misalnya, ya, punya istri yang cantik lagi nyapu halaman, terus lewat tetangga yang ganteng banget, lalu si istri tadi dengan sopan dan ramah menyapa sambil bilang, “Nggak mampir dulu, A’?” Apa nggak bahaya, tah?

Pak kiyai juga. Kan, sering banget itu dapat undangan dari anggota partai. Saat ketemu atau menghadiri undangannya—karena merasa nggak beradab kalo udah diundang, tapi nggak datang—pak kiyainya memasang muka ramah, penuh senyum. Kan, bisa dipelintir itu. Kiyai aja senyum dan ramah ama partainya, berarti setuju. Iya, kan?

Namun, bagaimana jika adab dan ilmu itu terpisah, setara, dan harus memilih salah satunya?

Saya jadi teringat dengan movie anime Dr. Stone: Ryusui. Saat itu Senku sedang mencari orang yang bisa menakhodai sebuah kapal agar bisa menuju ke benua lain dengan aman. Kemudian mereka menemukan seorang kapten kapal yang ilmu navigasinya sudah tinggi, tapi sikap dan kepribadiannya jelek.
ryusui
3) Ryusui yang nggak beradab
Mereka (tim pencari) mulai bingung, memilih orang biasa-biasa saja tapi beradab, atau orang yang berilmu tinggi tapi menyebalkan dan berisiko mengacaukan kerja sama kelompoknya. Namun, Senku tanpa pikir panjang langsung memilih Ryusui, sang ahli navigasi. Kenapa Senku tidak mempertimbangkan sikap buruknya sama sekali?

Saya tidak yakin alasan pastinya. Namun, kalo disuruh menduga, saya cukup paham dengan sikapnya Senku yang mementingkan ilmu dibanding adab. Jangan-jangan pelajaran Sosiologi di SMA Jepang dan Indonesia sama kali, ya? Di pelajaran Sosiologi, disebutkan bahwa manusia memiliki dua status sebagai makhluk hidup. Yaitu makhluk individu (kemampuan bertahan sendiri) dan makhluk sosial (kemampuan berinteraksi).

Sebagai makhluk individu, ilmu akan menjadi lebih penting. Sedangkan sebagai makhluk sosial, adab akan lebih membantu. Nah, karena manusia merupakan makhluk individu sekaligus makhluk sosial, logikanya, kedua hal tadi akan bernilai sama pentingnya. Sepakat, ya?

Lalu, kembali pada kasus Senku tadi. Kok, bisa ilmu lebih penting, bahkan adabnya nggak dipertimbangkan sama sekali? Anggaplah ilmu dan adab sebagai senjata. Maka, keefektifan senjata ini bergantung pada apa yang dihadapinya. Senku akan menghadapi alam liar, lautan luas dan gelombangnya. Makanya, senjata yang paling efektif untuk menaklukkannya adalah ilmu. Masa iya menghadapi badai cuma permisi, doang~

Kesimpulan saya…

Ilmu tetaplah yang utama. Karena adab sendiri adalah cabang dari ilmu. Orang yang berilmu tapi tidak beradab biasanya karena ada kesombongan. Kalo ilmu adalah pohon, cabangnya adalah adab, kesombongan bisa diibaratkan sebagai ulat yang menggerogoti pohon agar cabang-cabangnya layu dan mati.

Jika ilmu dan adab dianggap sebagai hal terpisah, tetaplah miliki keduanya. Namun, kalo harus memilih salah satu dalam satu waktu, sesuaikanlah dengan yang sedang kita hadapi.

Di hadapan manusia, kita harus mengutamakan adab. Sebab, orang lain tidak akan pernah mau tahu kamu sekolah di mana, jika kamu kurang ajar, maka kamu akan disingkirkan dari masyarakat. Udah banyak terjadi pada orang berilmu sejak dulu.

Sedangkan di hadapan alam, kita harus menjunjung tinggi ilmu. Sebab, alam tidak akan pernah peduli kamu ramah, santun dan berbudi pekerti luhur. Jika kamu tidak berilmu, tidak mengerti menghadapi alam, disingkirkannya kamu dari muka bumi.






Sumber gambar:

1) https://lampung.nu.or.id/syiar/tiga-keutamaan-dalam-mencari-ilmu-0whsW
2) https://www.tinewss.com/ragam-news/pr-1856153977/3-alasan-perlu-belajar-adab-dulu-sebelum-ilmu
3) https://dr-stone.fandom.com/wiki/Dr._Stone_Ryusui
Previous Post
Next Post

Oleh:

Terima kasih telah membaca artikel yang berjudul Mana Yang Lebih Penting, Adab atau Ilmu? Apabila ada pertanyaan atau keperluan kerja sama, hubungi saya melalui kontak di menu bar, atau melalui surel: how.hawadis@gmail.com

0 Comments:

--Berkomentarlah dengan baik, sopan, nyambung dan pengertian. Kan, lumayan bisa diajak jadian~