Kenapa Kalau Baru Berkunjung Sering Ditanya Nggak Ada Angin Nggak Ada Hujan Tiba-Tiba Datang?

ada-angin-ada-hujan
1) Ada angin ada hujan
Assalamu’alaikum… 

Dua pekan di awal Desember kemarin menjadi hari-hari yang begitu kelabu. Setiap harinya, angin kencang dan hujan lebat tak pernah lupa untuk menyapa dengan hebatnya. Di kampung saya, banyak pagar kayu dan pohon-pohon yang tumbang. Air laut juga mendadak pasang dan menyebabkan erosi. 

Anak sungai yang selama ini tersumbat dan alirannya tenang, tiba-tiba meluap dan membelah pantai hingga aliran airnya langsung bertemu dengan laut. Akibatnya, jembatan beton yang dilalui alirannya menjadi ambruk. Jemuran? Jangan ditanya lagi nasibnya. 

Angin dan hujan yang menjadi badai tersebut tentu merupakan produk dari perubahan iklim global, yang pemicunya adalah tindakan manusia yang membabat alam dengan egoisnya. Isu perubahan iklim ini jika tidak diangkat dan dibahas serius, ke depannya bisa menimbulkan hal yang lebih parah lagi. 

Malam ini, ketika saya sedang mengetik artikel ini, angin kencang juga sedang berdendang di luar. Terdengar suara ember yang terpental dan daun-daun yang saling menampar. Apa yang sebaiknya dilakukan di saat situasi seperti ini? 

Buka pintu selebarnya dan siapkan konsumsi! 
Loh, bukannya kita harus menutup pintu rapat-rapat dan rebahan saja? Iya, jika kamu adalah generasi yang anti sosial. Namun, kalo di dalam tubuhmu terdapat jiwa-jiwa yang peduli dengan sesama, membuka pintu saat terjadi badai merupakan sebuah etika di bangsa kita. 

Bukan untuk mempersilakan angin dan hujannya masuk, melainkan untuk bersiap-siap akan kedatangan seseorang. Maksudnya? Kita pasti pernah mengalami suatu momen kala berkunjung ke rumah teman atau kerabat yang lama nggak kita datangi. Saat kita bertamu dan mulai dipersilakan duduk, mereka pasti akan berkata, 

Nggak ada angin, nggak ada hujan, tahu-tahu datang ke sini, ada perlu apa, nih?”, atau 

Ada angin apa, ya, sehingga kamu datang ke sini?” 
ada-angin-apa-nih-kemari
2) Ada angin apa, nih, datang ke sini?
Iya, kan? Dari situ kita bisa menyimpulkan bahwa dalam situasi angin kencang dan hujan, di masa lalu, lumrahnya orang-orang akan datang bertamu. Kalo nggak, mana mungkin kita akan ditanya ada angin apa saat baru berkunjung ke rumah kerabat atau teman lama. 

Makanya, saat terjadi badai malam ini, saya tetap menjaga etika leluhur tersebut untuk bersiap menyambut teman atau kerabat yang mungkin akan datang bertamu. Bisa saja saat ini mereka lagi menonton sinetron Cahaya (Anak Band), lalu mendengar ada badai di luar. Sehingga terlintas di pikiran mereka, “Wah, hujan, nih, bertamu ke rumah Haw enak kayaknya.” 

Kenapa kalo bertamu, sering dikaitkan dengan hujan dan angin, ya? 
Adanya pertanyaan dan keheranan saat kita baru berkunjung ke rumah teman atau saudara dengan kalimat “nggak ada angin, nggak ada hujan”, menunjukkan bahwa berkunjung pada situasi tersebut memang sering terjadi. Tentu juga hal tersebut dialami oleh banyak orang, makanya pertanyaannya selalu sama. 

Yang jadi kebingungan utamanya, apa yang menyebabkan seseorang memilih berkunjung di saat terjadi hujan dan angin kencang? Soalnya, di kehidupan keseharian kita saat ini justru akan melakukan sebaliknya. Nggak bakal ke mana-mana kalo lagi hujan lebat dan angin kencang. 

Ngapain gitu, kan, ya, di luar lagi ada badai, eh, malah memilih berkunjung ke rumah teman atau kerabat yang jarang ditemui pula. Mending rebus indomie dipakein telur. Atau ngelakuin hobi baru remaja masa kini, cuddling dengan consent
cuddling-with-consent
3) Cuddling dengan consent
Dalam peribahasa Indonesia, pernah ada istilah “kalau tidak ada angin, tidak akan ada pokok bergoyang”, yang maknanya, jika tidak ada sebab, maka tidak akan terjadi sesuatu. Di situ menjelaskan bahwa adanya angin merupakan sebab. Dalam ucapan “nggak ada angin, nggak ada hujan” juga memiliki makna yang sama. Hal tersebut menjadi penyebab seseorang akhirnya datang berkunjung. 

Kok, bisa angin dan hujan jadi penyebab orang datang berkunjung? 
Bukannya lebih masuk akal kalau disebabkan mau berutang? Ada kejadiannya, bahkan saya pribadi juga beberapa kali mengalaminya. Waktu itu saya dan teman saya baru pulang kuliah, pukul setengah lima sore, saya mengendarai motor dan teman saya duduk di belakang. 

Tempat tinggal kami cukup jauh jaraknya dari kampus. Di tengah perjalanan, tiba-tiba terjadi hujan yang sangat deras. Kami berdiskusi untuk singgah saja, daripada mengalami hal yang berbahaya. Melihat posisi kami saat itu, saya teringat dengan teman SMA saya, kabarnya dia tinggal di wilayah yang sedang kami lalui. Langsung, dah, kami menuju ke sana. 

Ketika sampai, kami bilang permisi, ngucapin salam, pintu dibuka dan dipersilakan masuk. Karna di luar sedang hujan lebat, dia nggak protes dulu dengan ucapan “nggak ada angin, nggak ada hujan”, melainkan langsung menanyakan kena hujan di mana dan mulai bercerita tentang kegiatan kami masing-masing. 
neduh-di-mana-ya
4) Mau neduh di mana, ya?
Di lain waktu, saya dan bapak saya juga mengalami hal serupa. Kehujanan saat pulang dari rumah si mbah. Bapak saya mengajak singgah ke rumah temannya yang jaraknya cukup dekat. Saat sampai, ya, disambut dan disuguhi sambil bercerita, “Bapak kamu ini dulu teman saya ngadu jangkrik.” 

Kesimpulannya, orang-orang di zaman dulu menganggap bahwa bertamu di kala hujan dan angin itu merupakan hal lumrah karena saat situasi tersebut, orang akan datang untuk berteduh. Di zaman itu juga belum banyak bangunan publik, belum ada mal, belum ada hotel, belum ada indomart, sehingga perlu bertamu untuk berlindung dari hujan dan angin. 

Begitulah mulanya… 
Jadi, jangan bingung lagi kenapa angin dan hujan, kok, sering disinggung pas kita baru berkunjung atau bertamu. Kebiasaan memang bisa melekat sangat lama. Bertamu dengan motif berteduh merupakan kebiasaan yang sangat melekat dalam masyarakat. Susah menghilangkannya. 

Sama susahnya dengan menghilangkan kebiasaanku yang tetap memilih hujan-hujanan. Karena di hari yang lalu, saat terjadi hujan, kamu selalu ada menemani. Dan aku tak pernah berpikir untuk berteduh, sebab tawamu di bawah rintik hujan itu, terasa sangat meneduhkan. 



Sumber gambar: 
1) https://www.liputan6.com/news/read/3211424/foto-jakarta-hujan-angin-pohon-bertumbangan-di-sejumlah-lokasi?page=1
2) https://beritagar.id/artikel/gaya-hidup/anjuran-dan-larangan-saat-bertamu
3) https://www.thehealthy.com/mental-health/how-to-cuddle/
4) https://www.tagar.id/selain-cegah-stres-hujan-punya-5-manfaat-penting

Previous Post
Next Post

Oleh:

Terima kasih telah membaca artikel yang berjudul Kenapa Kalau Baru Berkunjung Sering Ditanya Nggak Ada Angin Nggak Ada Hujan Tiba-Tiba Datang? Apabila ada pertanyaan atau keperluan kerja sama, hubungi saya melalui kontak di menu bar, atau melalui surel: how.hawadis@gmail.com

4 komentar:

  1. Hm, jadi karena dulu tempat berteduh tuh memang langka ya selain rumah teman. Masuk akal sih.

    Tapi saya benar-benar lupa apakah pernah numpang berteduh di rumah teman. Malah ingatnya kita berteduh di warkop sama Dian, padahal niat awalnya joging sore. Terasa boros kan hari itu jajan mulu dari sore sampai malam. Haha.

    BalasHapus
    Balasan
    1. kurang lebih kayak gitu, sih. beda di opsi saja sekarang, dulu mah ngutamain temen, skrg yang bisa dipake makan minum sembari nunggu.

      Hapus
  2. kalo sekarang bertamu pasti mau pinjem duit hehe

    udah lama akhirnya bisa ke sini lagi. Baca tulisan dari Haw yang gak cukup sekali baca. Harus berkali-kali biar paham. dasar aku yang lemot

    BalasHapus
    Balasan
    1. sambil ngusap-ngusap lutut dulu biasanya..,

      ahahaha, aku kurang to the poin nyampeinnya De, biar rada mikir dan agak panjang aja postingannya. aahahaha

      Hapus

--Berkomentarlah dengan baik, sopan, nyambung dan pengertian. Kan, lumayan bisa diajak jadian~