Langkah Agar Menjadi Biasa, Lebih Sulit Dari Jadi Istimewa

Eh… apa lebih enak judulnya “menjadikan semuanya terbiasa”, ya? Terserahlah, ya, pokoknya, assalamu’alaikum…

Setelah menjalankan ibadah puasa sebulan penuh kemarin, serta ditambah merayakan hari raya lebaran, hari-hari selanjutnya akan menjadi biasa lagi. Orang-orang mulai mengeluhkan kegiatan harian setelahnya yang melelahkan seperti biasa. Padahal sebelumnya, kan, kegiatan hariannya itu sudah menjadi kebiasaan. Dan yang namanya kebiasaan atau hal yang biasa, biasanya, akan lebih mudah dijalani, iya, nggak, sih?


biasa
1) Kayak gitu biasa, saya gimana...


Pandangan orang terhadap hal yang biasa sungguh underrated, berbeda dengan hal yang dianggap spesial atau istimewa. Menurut mereka, sesuatu yang biasa itu nggak ada menarik-menariknya. Faktanya, hal yang biasa merupakan sesuatu yang dapat jadi pertanda keawetan. Padahal awet itu sendiri merupakan hal yang sulit tercipta dan banyak yang menginginkannya. Lagi pula, untuk menjadi “biasa”, itu nggak semudah yang diucapkan, loh.

Perlu beberapa langkah istimewa untuk menjadi biasa
Walo kata “biasa” menunjuk pada hal yang wajar dan diketahui atau mampu dilakukan banyak orang, tetapi untuk menjadikan sesuatunya biasa, perlu berbagai langkah dan kondisi. Nggak bisa serta merta semuanya menjadi biasa. Misalnya saja “bisa mengendari sepeda motor”. Itu hal yang biasa, kan? Cuma nyetir motor, doang, apa istimewanya, sih.


biasa
2) Membiasakan itu susah

Namun, sebelum orang bisa mengendarai sepeda motor, dia akan bersusah payah terlebih dulu. Belajar mainin gas, belajar masukin gigi dan kopling, belajar ngerem yang bener, nyalain lampu sein (tulisannya gimana, sih?), bahkan sampe harus nabrak atau jatuh dulu. Hal yang biasa, tapi perlu usaha sangat keras. Hal yang istimewa, juga perlu usaha yang keras. Sama. Namun, secara perlakuan, hal istimewa malah lebih diistimewakan. Ya iya, sih. Maksudnya, sama-sama perlu usaha keras, kenapa anggapan orang-orang terhadap keduanya berbeda?

Menurut saya, justru hal yang biasa harusnya lebih istimewa dari hal istimewa itu sendiri. Karena untuk menjadi biasa, ada beberapa langkah istimewa yang perlu dilakukan. Hal istimewa hanya perlu usaha ekstra, sedangkan hal biasa memerlukan berbagai hal istimewa.

Istimewa = usaha ekstra

Biasa = x Istimewa (misal x = 4) = usaha ekstra usaha ekstra usaha ekstra usaha ekstra

Yang pertama, harus dilakukan berulang kali
Berbeda dengan hal istimewa yang perlu dilakukan sekali saja, sesuatu akan menjadi biasa jika sudah berkali-kali dilakukan. Misalnya saja kebiasaan bangun tidur pagi. Boleh disebut biasa jika bangun paginya jam 5 subuh setiap hari. istiqomah. Kalo hanya sekali doang bangun jam 5 subuhnya, lalu di hari lainnya jam segitu malah baru mau tidur, atau bangunnya nggak tentu antara jam 9 sampai jam 12 siang, ya, itu nggak bisa disebut biasa.


biasa
3) Terus menerus berulang

Untuk membuat hal istimewa, nggak perlu serepot itu. Cukup melakukannya sekali saja. Misal ada orang bercerita dengan antusias pengalamannya setelah naik pesawat terbang. Istimewa karena baru sekali itu dia naiknya. Menurut kita, itu nggak ada istimewa-istimewanya, kan? Karena kita sudah naik pesawat berkali-kali. Biasa. Secara ekonomi, biaya untuk jadi biasa saja lebih mahal dari yang jadi istimewa. Kok, ya, yang diagungkan tetap hal istimewa?

Kedua, berulang kalinya harus dengan orang/hal yang sama
Nggak bisa soalnya kitanya menganggap biasa, tapi orangnya beda-beda. Seperti waktu mesen menu di warteg. Walo udah berkali-kali makan di warteg yang sama, tapi yang ngelayani beda-beda, nggak bisa kita bilangnya, “Mbak, seperti biasa, ya!” Nggak bisa. Atau nelpon gebetan di jam 2 malem.

Gebetan kita nanya, “kok, nelponnya jam segini?”

Kita bilangnya, “Udah biasa, kok, nelpon jam segini.”

Nggak bisa, kan, kayak gitu. Jadi menimbulkan banyak pertanyaan entar di benak gebetan. Biasa? Biasa telponan jam segitu? Biasa, berarti udah sering, dong? Nelpon siapa aja? Pupus udah harapan berdekatannya.

Kalo untuk mengistimewakan, boleh orangnya berbeda-beda. Sekali dan beda orang. Dari itu, istilah yang biasa dilontarkan dalam keseharian itu sebenarnya salah. Orang menganggap diistimewakan kalo yang kemauannya dituruti dia lagi dia lagi. Seperti kalo mau beli mainan. Tiap adek minta, dibeliin terus. Pas kita yang minta, cuma sekali doang dibeliinnya. Lalu kita menganggap orang tua kita mengistimewakan adek.

Nggak, dong. Itu berulang. Terus orangnya sama. Itu bukan mengistimewakan namanya, itu membiasakan. Jadi jangan heran entar kalo adeknya jadi manja, tiap mau apa-apa langsung nangis. Dia bakal dinyinyirin, “Kebiasaan!”

Nggak akan ada yang bilang, “Keistimewaan!” Nggak ada. Nggak ada.


biasa
4) Kebiasaan!

Ketiga, juga dilakukan berulang kali oleh mayoritas
Kalo hanya kita yang melakukannya berulang kali, dengan hal yang sama, itu bukan kebiasaan, tapi aneh. Misal tentang kebiasaan sepulang lari pagi. Kita mengaku, biasanya setelah letih keliling lapangan kita langsung duduk di kursi DPR.

Nggak bakal disebut biasa yang kayak gitu. Nggak ada orang lain yang melakukan. Biasanya, kalo letih seabis lari pagi, ya, kita duduknya di kursi DPR setelah dilakukan pemilihan umum dulu. Jadi kalo mau berangkat lari pagi, jangan lupa pake kaus partai.

Orang-orang akan ikut mengiyakan hal itu sebagai sesuatu yang biasa, jika mereka juga melakukan hal yang sama. Kalo hanya kita yang punya atau yang bisa melakukan, kalo nggak aneh, ya, nyebutnya istimewa. Makanya, pasangan itu kita sebut sebagai orang istimewa karena hanya kita yang memilikinya.


biasa
5) Orang istimewa

Keempat, bisa dilakukan tanpa perlu banyak pikir
Kan ada pribahasanya, ala bisa karena biasa. Bisa masak rendang misal. Ya, nggak perlu banyak mikirin bumbunya apa aja dan seberapa banyak. Bisa ngetik sepuluh jari. Nggak perlu mikirin di sebelah kanan huruf P itu tombol apaan. Sama juga kayak orang yang nggak mikirin perasaan orang lain dengan ngatain atau nyelingkuhin. Baginya udah biasa.

Pada perkara yang lain, nggak perlu banyak mikir itu merupakan hal yang hebat. Seperti nggak perlu banyak mikir untuk menyelesaikan soal olimpiade matematika, terus hasilnya benar. Nggak perlu banyak mikir berarti suatu keistimewaan. Dan “hal biasa” terbentuk dari hal istimewa ini. Bukankah hal biasa harusnya nggak diremehkan lagi karena terdiri dari berbagai hal istimewa?

biasa
6) Nggak banyak mikir lagi

Dari itu, jangan lagi meremehkan hal biasa. Menganggap hal biasa tidak begitu berarti. Lalu berlebihan memuja hal yang istimewa. Jangan! Karena untuk membuat sesuatu menjadi hal yang biasa, memerlukan empat perlakuan istimewa yang melelahkan di atas. Sehingga selanjutnya menjadi mudah dilakukan karena tidak merepotkan lagi.

Makanya, …
Saat hubungan kalian sudah terasa biasa, nggak ada istimewa-istimewanya lagi, jangan mendadak ngajak putus. Itu berarti kalian telah menggenapi berbagai hal istimewa dan sampai di tahap biasa. Kalo sudah biasa, harusnya sudah jadi kebutuhan, kan? Kalo sudah biasa, harusnya sudah tidak bikin ribet, kan? Kalo sudah biasa, menjalaninya jadi mudah, kan?

Sudah jadi kebutuhan, nggak ribet, dan menjalaninya mudah. Bukankah itu tujuan awalnya kalian menjalin hubungan? Udah udah sana kembali bergandengan!


Sumber gambar
1) https://www.brilio.net/foto/view/news/2017/01/04/113443/549637-meme-biasa-aja-.jpg
2) http://www.insidehelmet.com/cara-anak-di-bawah-umur-bisa-naik-motor/
3) http://palembang.tribunnews.com/2018/09/21/sikap-istiqomah-seorang-muslim
4) https://www.kompasiana.com/achsaniadevifatika2338/5c88c3730b531c36224e3d92/kebiasaan-jadi-iljin-oh-tuman
5) https://www.liputan6.com/health/read/3923882/4-mantra-yang-membuktikan-kamu-istimewa
6) https://today.line.me/id/pc/article/3+Soal+Matematika+Paling+Misterius+Entah+Guru+atau+Siswa+yang+Benar-f66b3a1886e256fe1a2842ff5998e267b03d0c06d47a93edb6425f375be593b2

Previous Post
Next Post

Oleh:

Terima kasih telah membaca artikel yang berjudul Langkah Agar Menjadi Biasa, Lebih Sulit Dari Jadi Istimewa Apabila ada pertanyaan atau keperluan kerja sama, hubungi saya melalui kontak di menu bar, atau melalui surel: how.hawadis@gmail.com

8 komentar:

  1. Ingin kembali bergandengan tapi yang mau digandeng gak ada, jauh :(

    BalasHapus
    Balasan
    1. Deketin, lagi Wi. Kalo udah deket, jangan kasih lepas!

      Hapus
  2. kalau sudah biasa tapi menjalaninya malah makin susah, itu pertanda apa, pak ustaz?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Belom genap syarat biasanya Pak kalo masih susah. Kalo udah biasa, ya, harusnya mudah.

      Hapus
  3. Emang, sih, lama-lama terasa biasa aja ketika hubungan umurnya udah lama. Enggak kayak di awal-awal yang konon berbunga-bunga itu. Waktu buat romantis-romantisan atau apalah kepake buat mikirin karier dan masa depan--baik diri sendiri maupun pasangan alias menyiapkan rencana menuju pernikahan.

    Tapi yang parah dari membiasakan semuanya terjadi pada hubungan tuh, mulai biasa menganggap hubungan itu baik-baik aja, padahal jelas-jelas ada yang bermasalah dan perlu dibicarakan. Atau malah hanya sesepele, kurangnya momen buat bertukar cerita. Yang satu merasa, enggak setiap hal perlu diceritakan; satu lagi ingin terus berbagi kesehariannya. Orang yang berkisah hal-hal remeh itu dianggap sama si pacar lagi mengeluhkan hidup, menularkan racun atau efek negatif. Lantas dia berpikir pasangannya mungkin udah muak menjadi pendengar. Ditambah lagi, kenapa pasangannya nyaris enggak mau bercerita? Seakan-akan dia cuma bisa bacot, dan enggak bisa dipercaya meminjamkan telinganya. Sampai-sampai muncul pemikiran, mungkin sudah ada kuping lain yang bersedia menampung ceritanya.

    Ketika apa yang dipendam dan dirasakan itu meledak karena sama-sama capek buat menahan diri, bertahan bagi mereka bakalan susah banget. Ah, biasa berantem kayak gini. Nanti juga baikan lagi. Ternyata, semua ada batasnya. Hahahaha.

    Anjir, komentar apa barusan.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Waiya, ...

      Kamu bener juga, Yog. Terbiasa saling meremehkan dan saling curiga atau buruk sangka. Namun, itu bukan salah "terbiasa"nya. Karena yang jadi pokok utama "terbiasa"nya emang udah beneran gak baik. Curiga, meremehkan, suuzonan. Itu kan emang hal yg harus dihindari banget. Kayak terbiasa nyopet, ya nyopetnya itu yg jadi masalah utama yg harus dihilangkan dulu.

      Padahal bisa juga kan sejak awal2 membiasakan saling terbuka dan terbiasa menunjukkan mengutarakan apa yg dirasakan baik suka atau nggak.

      Saya fokusnya ke hal biasa yang bersifat wajar dan jadi bosan, soalnya. Mereka udah melakukan hal bener, gak ada yg salah, cuma karena gak ada kejutan "Wah" lalu ngerasa hubungannya flat. Gitu. Bukan yg ke biasa nyembunyiin kekecewaan dengan kepura-puraan.

      Semangat, Yog!

      Hapus
  4. Membiasakan kebiasaan yang biasa-biasa saja sampai terbiasa~ Gitu bukan maksudnya?

    BalasHapus
    Balasan
    1. ahahaha... ajdi mblibet, yak? Intinya sih mau ngasi pendapat aja, kalo hal yang menurut kebanyakan orang biasa aja itu aslinya sangat istimewa. Nggak boleh ngeremehin apa pun.

      Hapus

--Berkomentarlah dengan baik, sopan, nyambung dan pengertian. Kan, lumayan bisa diajak jadian~