Stasiun Yang Membuat Teringat Dengan Kenangan

Assalamu’alaikum…

Di beberapa kisah romansa atau update-an sosial media, untuk menunjukkan keromantisan atau membangkitkan kenangan mereka selalu saja menyebut kopi, senja dan hujan. Selalu saja ketiga hal tersebut yang ditunjuk. Sampai-sampai saya bosan dan jengah tiap kali melihat atau mendengar tulisan atau bendanya secara langsung. Saking jengahnya, tiap ke kafe atau warung kopi, saya mesennya es susu atau nutrisari mangga.

stasiun

Saya ingat pernah berada dalam suasana senja di rumah tepi pantai, ditemani gerimis hujan dan menyesap kopi. Tiga-tiganya jadi satu. Kombo kenangan yang indah, bukan? Bukan. Biasa saja. Malah makin mengingatkan akan pahitnya kesendirian.

“Itu karena kamu nggak punya kenangan indah dengan ketiga hal tersebut, terutama dengan seseorang yang terindah.”

Saya ingat, itu tanggapan teman saya saat saya bilang sudah muak dengan kopi-hujan-senja-kopi-hujan-senja. Mungkin dia ada benarnya. Karena seingat saya, kenangan indah dengan seseorang yang terindah itu malah suatu gerakan menggulung ujung jilbab dengan jari telunjuk sambil tertunduk tersipu. Tapi masa iya tiap liat orang nunduk sambil mainin ujung jilbabnya jadi terkenang? Gak elok amat, yak. Eh, ada yang lain juga, sih, kalo mau jadi pembangkit kenangan. Stasiun.

Namun, saya ingat, stasiun malah jadi tempat yang mencipta kesedihan
Banyak yang mengutuk stasiun karena selalu menjadi pemisah dua orang yang terjalin kasih. Kesenangan kala pertemuan yang dihadirkan stasiun malah makin membangkitkan kerinduan dan kesedihan parah kala sudah memasuki waktu berpisah. Apalagi kalo pisahnya pisah yang nggak memungkinkan adanya temu lagi. Sedih, saya jadi ingat curahan nadanya Didi Kempot.


stasiun

Ning stasiun balapan
Kuto solo sing dadi kenangan
Kowe karo asu
Naliko ngeterke lungamu

Ning stasiun balapan
Rasane koyo wong kelangan
Kowe ninggal asu
Ra kroso netes eluh ning pipiku

Jangan dikoreksi! Itu nggak salah ketik. Waktu jadian, sih, bisa ditulis “aku”. Tapi kalo udah pisah, mantan, kan, dianggap sebagai “anjing”. Asu. T.T

Walo banyak yang menganggap stasiun sebagai tempat penumpuk kesedihan, tapi bagi saya stasiun tetaplah tempat yang bisa membangkitkan memori indah.

Saya masih ingat deg-degannya di stasiun saat pertama kali akan naik kereta
Sama seperti deg-degannya Harry Potter saat mencari peron 93/4, saat-saat pertama kali itu memang selalu mendebarkan. Ketika akan naik kereta api, saya ingat dua hari sebelumnya saya melakukan survey terlebih dulu. Jadi saya sengaja datang ke stasiun hanya untuk memantau apa yang mesti dilakukan dua hari mendatang. Saya melihat dan mempelajari bagaimana membeli tiketnya, bagaimana melakukan tap in tap out nya. Setelah cukup paham saya pulang dengan kesiapan yang cukup mantap.

Dua hari kemudian saya melakukan apa yang seperti orang lain lakukan saat akan naik kereta. Saya ingat urutannya. Sialnya, ketika tap in, itu pintu putarnya malah bergerak duluan. Harusnya ketika tap in, saya langsung maju mendorong palang besinya. Ini saya ketinggalan. Mau gak mau memanggil petugas buat dibantuin. Ngerasa kampungan banget ya Alloh…


stasiun

Sesampainya di stasiun tujuan, saya berkeliling mencari seseorang yang telah menunggu. Saya ingat-ingat wajahnya. Lalu mencocokkan dengan tiap rupa yang ada. Di situ kenangan manisnya terasa. Setelah lama ingin jumpa dan dibuat deg-degan karena baru pertama naik kereta, akhirnya bisa bertatap muka. Ya walo kesan pertama malah sama-sama bingung mau berucap apa. Cuek yang terasa. Tapi kalo saya ingat-ingat, itu menjadi awal mula. Yang kemudian membawa bahagia dalam cerita.

Saya ingat kejadian unik di gerbong kereta
Kenangan disebut indah bukan karena dalam kenangan tersebut kita sedang berada di tempat atau menyaksikan pemandangan yang indah. Melainkan karena memberi kesan unik yang membuat hati berbunga atau setidaknya kala mengingatnya bisa menciptakan senyum tersimpul.

Saya ingat, pernah akan pergi ke suatu tempat menggunakan kereta. Saya mengabarkan pada teman saya untuk menunggu di stasiun tertentu dan ketika kereta yang saya naiki datang, langsung naik saja ke gerbong nomor 4. Saat sudah sampai di stasiun yang dimaksud, dia naik, tapi nggak nongol-nongol di gerbong nomor 4. Saya tanya melalui chat dia di mana. Katanya di gerbong nomor 4. Tapi nyatanya dia nggak ada.

Saya ingat, waktu itu saya berpikiran kalo dia salah naik kereta karena ada dua kereta yang berhenti. Namun, berlawanan arah. Untuk memastikannya lagi, ketika kereta yang saya naiki singgah di stasiun selanjutnya, saya nanya sekarang sedang di stasiun apa. Ternyata sama. Saya langsung menyusuri gerbong demi gerbong. Saya berada di gerbong 4, berjalan ke gerbong belakang itu nomor 3. Dia nggak ada. Gerbong 2 juga nggak ada. Saya balik arah karena saat mau ke gerbong 1, saya diberhentikan ama petugas gerbongnya. Gerbong 1 khusus perempuan.

Di gerbong 5 juga nggak ada, gerbong selanjutnya nggak ada. Di gerbong 7 saya mendapat pesan kalo saya disuruh balik lagi karena dia ada di gerbong sebelumnya. Gerbong 6 berarti. Saya balik ke gerbong sebelumnya, dia nggak ada. Sampe baliknya ke gerbong 5. Dia ngirim pesan untuk balik arah ke gerbong sebelumnya lagi. Pas lewat dia menjulurkan kakinya. Ketemu. Dia beneran ada di gerbong 6, saya aja yang nggak liat. Maklum saya jalannya tegap mendongak. Dia yang lagi duduk nyempil nggak keliatan.

Saya ingat, pernah ditanya kenapa jalannya agak mendongak. Padahal kan mestinya merunduk. Apalagi kalo makin berisi. Seperti padi. Begini, ya, kita harus mencontoh makhluk yang mulia. Makhluk bumi yang dimuliakan itu adalah perempuan. Karena dia bisa sangat sabar ketika mengandung. Saat mengandung, itu artinya perempuan itu lagi isi. Dan ketika isi itu, perempuan jalannya agak mendongak, kan?

stasiun

Itu yang mesti kita tiru. Masa meniru padi, sih.

Ketika sudah berjumpa dengan teman saya itu, saya nanya kenapa dia di gerbong 6, padahal udah dibilangin untuk ke gerbong 4. Dia bilang perlahan sambil menunjuk nomor gerbong di atas pintu penghubung gerbong, “Ini gerbong nomor 4.” Saya ingat kekagetan dan keheranan yang saya alami saat itu. Kok, bisa gerbong nomor 4-nya ada dua? Kenapa harus nomor 4? Kan, saya jadi keingat tentang mitos angka 4.


Saya langsung berharap keretanya nggak kenapa-kenapa saat itu. Dan beneran nggak kenapa-kenapa. Tergelincir nggak, ditumpangi zombie nggak, ada pembunuh berantai nggak, tabrakan karena salah masuk rel nggak, gerak juga nggak. KERETANYA KETAHAN PAS MAU MASUK MANGGARAI LAMA BET. Keretanya nggak kenapa-kenapa. Tapi saya ingat perut saya yang kenapa-kenapa. Mules. Itu pasti konspirasi angka 4 tadi.

Di lain waktu saya juga sempet dianiaya ama stasiun
Pernah ketika sepulangnya dari Yogyakarta menggunakan kereta, saya kebelet pipis. Waktu itu kebetulan keretanya udah sampai stasiun Pasar Senen. Jam 01.35 malem. Karena bawaan banyak, saya bermaksud pipisnya di stasiunnya saja. Tapi apa daya, toilet stasiunnya diperbaiki. Saya lalu melangkah ke musala di stasiun. MUSALANYA NGGAK NYEDIAIN TOILET. Saya nyari tempat gelap yang sepi juga nggak dapet-dapet. Mau nggak mau harus ditahan.

Saya ingat waktu itu saya harus menunggu jadwal KRL pertama yang berangkat yang akan membawa saya pulang. Jadwalnya pukul 04.45 pagi. Jadi saya harus nahan pipis sekitaran hampir tiga jam lagi. Mana di stasiun Pasar Senennya nggak ada ruang tunggu. Di emperan musala atau emperan lainnya ada plang dilarang tidur. Jadi duduk-duduk aja. Tapi lama-lama ya ketiduran juga. Sialnya, ama petugas yang jaga kalo ada yang tidur langsung dibangunin. Penyiksaan nahan pipis ini nggak bisa dialihkan dengan tidur ternyata.


stasiun

Beberapa jam berlalu, jadwal KRL sudah tiba. KRL-nya sendiri nggak ada toiletnya, tapi di peron tempat menunggunya disediain toilet. Itu yang saya incar. Karena untuk masuk ke peronnya harus melalui gerbang dan gerbangnya dibuka ketika jadwal kereta sudah dimulai, makanya mesti nunggu.

Setelah antre membeli tiket dan masuk, saya langsung bergegas menuju toilet. Dan voila, toilet di peronnya juga diperbaiki dan dikunci. Saya ingat saat itu saya mengumpat “kamper”. Mau nggak mau nahan pipis ini lebih lama lagi. Niatnya mau berhenti singgah di stasiun terdekat yang nyediain toilet, tapi karena khawatir toiletnya bermasalah lagi, saya memutuskan untuk mengeluarkannya di stasiun akhir saja. Karena selain di sana udah jelas nggak diperbaiki, toilet di stasiunnya juga ada banyak. Stasiun Bogor. Tiga jam perjalanan.

Saya ingat merasa tersiksa pagi itu. Lagi nahan pipis. Ngantuk juga. Dingin. Ditambah AC-nya kenceng. Ya Alloh pengin sedia popok aja waktu itu. Namun, karena kantuk yang begitu kuat, rasa yang ingin keluar tersebut jadi mereda. Bangun-bangun udah sampai di stasiun Bogor aja. Saya bergegas dengan sedikit berlari menuju toiletnya. Ketika pipis yang ditahan berjam-jam akhirnya bisa dikeluarkan, itu suatu kenangan yang membahagiakan. Ada kali dua menit ngucurnya.

Coba kalo kopi, senja atau hujan, nggak bakal menemukan kenangan yang begitu. Nahan pipis di kala hujan? Ngapain ditahan, keluarin aja! Kan, ada itu kalimat romantisnya:

“Saya suka berjalan di bawah hujan, jadi tidak ada satu orang pun yang melihat saya sedang pipis”

Saya juga ingat, seseorang pernah berkata, “Hubungan itu seperti naik kereta”
Mungkin kita naiknya sendiri, tapi di gerbong kita akan diberikan pertemuan. Atau mungkin sejak di stasiun sudah sepakat naik kereta bersama. Dalam perjalanannya kita diberikan keseruan dan kebahagiaan dengan saling candaan. Dibuat senyum terus-terusan karena ada bahu yang jadi topangan. Dibuai harapan dan keyakinan karena pasti akan sampai tujuan.

Namun, dalam perjalanan yang sama juga dihadirkan kesakitan. Nahan pipis tadi contohnya. Belum lagi lutut pegel. Tidur nggak tenang. Kedinginan, sih, mungkin nggak kalo bersama. Ada yang namanya pelukan. Sama aja seperti hubungan, kan? Ada kesenangan, ada kesedihan, ada kebersamaan. Dan semuanya akan sampai pada tujuan.

Kala melihat stasiun, saya bisa ingat semua itu. Ingat kenangan yang indah, ingat seseorang yang jadi terindah, ingat kalo di kereta nggak boleh ngeludah. Ingat kalo kita pernah tertawa membuncah, ingat kalo kita saling berharap pada nikah. Saya ingat. Semuanya saya ingat.

Hanya satu yang tidak saya ingat, ketika sudah sampai tujuan, kamu akan dijemput orang lain yang akan menjadi penemanmu hingga waktu berpulang. Saya hanya penjaga dan pengantar.

Shit.

Apanya yang indah kalo ujungnya pisah.

Mending ikutan jadi pecandu senja aja apa, ya?


Sumber Gambar:
1) https://id.pinterest.com/explore/coffee-quotes/
2) https://liriklagudewi.blogspot.co.id/2017/01/liriklagustasiunbalapandidikempot.html
3) https://en.tempo.co/read/news/2013/06/07/080486343/No-More-Flat-Rates
4) http://www.newhealthadvisor.com/Does-Walking-Induce-Labor.html
5) http://paguyubanpjka.org/2016/02/12/toilet-ajaib-di-stasiun-pasar-senen/
Previous Post
Next Post

Oleh:

Terima kasih telah membaca artikel yang berjudul Stasiun Yang Membuat Teringat Dengan Kenangan Apabila ada pertanyaan atau keperluan kerja sama, hubungi saya melalui kontak di menu bar, atau melalui surel: how.hawadis@gmail.com

21 komentar:

  1. setuju. gue udah ngerasa geli sama orang yang dikit'' ngomong kopi, senja lah, hujan. gilani. kayak ga ada hal lain aja.
    *terus nanti gue ngebahas tentang kopi*

    tapi kalo ngomongin stasiun, gue malah inget kenanangan yang enggak ada enak''nya. dan enggak mau ngebahas jga sih. wlehehe
    tapi itu kok ya kuat gitu ya bisa nahan buat kencing lama''. ga enak banget tuh pasti. bawaannya tegang sendiri gitu badannya.
    dan untuk yang mendongak ketika berjalan, setuju sih. apalagi perut gue juga sebelas dua belas mirip kayak ibu hamil. berarti emang engga boleh nunduk ya. heu
    salah pas tap in itu enggak bikin jadi kampungan. tapi keliatan jdi culun aja gitu. hahahaha

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ahahaha... beberapa org lainnya juga udah mulai jengah sih, tapi ya ujung-ujungnya klo ikutan melow ya dia bahas iyu2 juga. xD

      iya, makanya saya tulis kalo stasiun malah menjadi tempat pemberi kenangan sedih buat kebanyakan orang.

      bener banget, gaenak sumpah, mana perut kayak ada tekanan gitu.

      anjaaayyy.. ornag buncit emang kudu mendingakkan badan, toh mereka yg buncit malah disukai perempuan, kan... om biasa dipanggilnya.

      hahaha.. mana yg ngantree dibelakangnya waktu itu lagi rame... ya allah malunya..

      Hapus
  2. kenangan indah itu emang di stasiun
    apalagi klo ada pemain ortung di sana sambil nyanyiin lagu2 melow
    klo nahan pipis jangan lama2 mas
    tapi kepepet juga ya

    BalasHapus
    Balasan
    1. masih ada kah? ahahaha.. itu zaman dulu banyak banget yg gitu, skrg udah gak ada lagi.

      yagimana, kan menjaga malu juga klo pipis sembarangan.. nyari tanah aja susah. itu kalo pipis sembarangan ya bakal bikin genangan.

      Hapus
  3. Senja, hujan, dan kopi. Orang ini nggak bisa romantisan di musim paceklik kayaknya. Hehehe.

    Padahal emang lebih romantis di kereta ya. Di halte Transjakarta juga bisa. Misalnya lagi di mau tap in, busnya udah nyampe. Begitu masuk, busnya pergi. Akhirnya nunggu lagi dan siap-siap sikut-sikutan sama orang kerja. :(

    BalasHapus
    Balasan
    1. senja dan kopinya selalu bisa muncul tiap hari, Rob...

      ahahaha... saya udha pernah ngalamin itu, gelak, di terminal trans jakarta lebih beringas ternyata. mana cuma ada kipas angin.

      Hapus
  4. Kadang mas kopi dan indomie juga terasa pahit di lidah saat hujan jika yang di ingat hanya kenangan mantan hahah.

    BalasHapus
    Balasan
    1. kenapa harus tercipta mantan di dunia ini.. ... ..

      Hapus
    2. Karena mantan mengajarkan kita indahnya terluka mas.

      Hapus
    3. A en je a yeeee... luka pun indah.. buat saya itu skait mas.. :(

      Hapus
  5. Shit. Berhubung aku sama sekali belum pernah naik kereta (dan PENGEN BANGET YA RABB NAIK KERETA AAAAAAK) maka aku nggak mudeng pas kamu jelasin soal tap in panggil petugas buat bantuin itu, Haw. Padahal pengen banget ngetawain dengan keras :(

    Sama nih, aku juga ngerasa nggak punya kenangan sama kopi-hujan-senja. Sampe ngerasa geli juga. Apa karena aku nggak pernah minum kopi sama orang terkasih di kala hujan yang turun di senja hari kali ya. Kalau aku kayak yang udah aku tulis di tulisan baruku sih, tempat yang membangkitkan kenangan itu bioskop. Ya karena nggak pernah ke stasiun huhuhuhu. Selain membangkitkan kenangan nonton sendirian, juga banyak kenangan lainnya. Pas liat lantai berkarpet lobi bioskop, aku jadi ingat ngerjain soal simulai UN SMP sama pacar (yang sekarang jadi mantan huhuhu. Ingat pas ngambek-ngambekan sama mantan karena dia nggak mau diajak foto. Ingat pas selonjoran sendirian merhatiin nenek-nenek terus nebak beliau nonton apa.

    Btw mau nanya nih, Haw. Stasiun digambarkan begitu romantis di tulisan ini. Ya walaupun ujung-ujungnya rada ngenes sih. Hmmm terus apakah ada judul FTV favorit yang ada kata stasiunnya? Terima kasih sebelumnya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ada odong-odong kok, Cha.. coba aja..

      ahahah.. ya gimana, satu, kamu gaboleh ngopi, inget asam lambung. dua, kamu pulangnya sore, jangan menikmati senja, liat depan aja penuh kendaraan dan gedung2. tiga, kamu malah benci hujan, jalan2 jaid batal, mau pergi nonton juga batal. apanya yg mau diingat.

      ahahaha.. karpet di bioskop jauh lebih mahal dna lebih indah dibanding karpet rumah saya sih. mungkin lebih mahal juga drai kasur saya. jadi kalo ke bioskop, saya ngerasa wajar kalo karpetnya dipake tiduran.

      nonton sendirian memang passionmu, Cha. karena jadi lebih fokus dan meresapi tiap scene filmnya. eh, passion nonton sendiriannya apa sendiriannya yg lebih bener, tau dah..

      banyak sih, Cha. yg pernah kuliat itu Kutemukan Cinta Di Stasiun Tugu. kalo yg baru2 di tahun 2017 sih ada ftv yg judulnya Jatuh Cinta Di Stasiun. kalo drama berserinya ya yang Stasiun Cinta itu.

      Hapus
  6. Di awal paragraf, kamu menyebut kopi dua kali, Haw. Kopi, senja, kopi. Seharusnya hujan, kan?

    Berbicara stasiun dan kereta, saya jadi ingat beberapa caption di Instagram dan foto-fotonya pernah berhubungan dengan itu. Saya bikin prolog untuk cerita perjalanan ke Solo, justru lebih banyak kejadian di keretanya. Entah mengapa, kereta memang salah satu transportasi yang saya sukai selain motor. Dan saya suka menuliskannya.

    Bagian akhirnya kok taik juga, ya. Syukurnya, pas LDR-an dan putus saya nggak berpisah di stasiun. Tapi di terminal. Kalau di stasiun, bisa-bisa jadi tulisan soalnya. :|

    BalasHapus
    Balasan
    1. ahahaha.. iya bener, Yog. Makasih koreksinya. udah diubah.

      sebenernya kejadian pas lagi di gerbongnya emang romantis dan juga ada yg menjengkelkan, biar jadi kesatuan aja ama menjemput jaid dibuat bahasan stasiunnya.

      ooohh.. jadi si ituh naik bus ya ke jakartanya.. hmm hmm hmm...

      Hapus
  7. Wah, di sini ngomongin stasiun juga..

    Dan kalo duduk di kereta atau di stasiun pas lagi nunggu gitu, gak tau kenapa kadang terasa romantis, meski perginya sendiri. Tapi kalo disenderin sama orang di sebelahnya mah males deh, apalagi gak kenal -_- (maaf copy komentar dari blog sebelah, habis cuma kalimat ini yang saya punya tentang stasiun)

    Btw, dibaca-baca pas bagian gerbong 4 itu aku merasa dejavu dan selalu ingin tertawa terus, kenapa hanya bagian itu rasanya related sekali ya xD

    BalasHapus
    Balasan
    1. Emang itu kamu ngopy komenmu yg di blognya siapa dah, Wi?

      ahelah... ada kali itu ceritamu yg di stasiun, yang nungguin orang terus kamunya ngumpet, ngerjain, eh org yg ditunggu taunya ada dibelakang kamu duduk pas ngumpet.

      ahaha.. itu kejadian misterius yang kudu diselidiki. xD

      Hapus
    2. Yang aku inget di stasiun yang ini, ketika hectic banyak orang nanya tentang jadwal kereta dan tiket sama security stasiun dan aku dengerin dengan seksama mencari informasi, eh ada satu orang dateng terus nanya "toilet di mana, ya?"
      Hancur konsentrasi xD

      Hapus
    3. di saat bingung ama antrian yang begitu panjang dan loket tiket yg nomornya kebanyakan, mau nanya petugas juga antre, yaudah merhatiin org yg nanya. xD
      padahal lagi merhatiin org nanya di loket mana biar sesuai.

      Hapus
  8. Biar sesuai ama kehidupan sehari-hari, may. Udah putus dikatai asu. :(

    Ahahaha.. sampe keileran.. yah, kenangan yang begitu pasti berkesan, syukurnya di sebelahnya cewek, coba kalo cowok, bisa ajdi kenangan pait itu buat mas-masnya. xD

    yah, walo membuat melo, saya sellau menantikan saat-saat ke stasiun dna berjumpa dengan seseorang atau mungkin hanya sendiri buat melihat muka-muka orang lain yang naik kereta. juga kejadian langka di dalamnya.

    Iya... waktu ke Bogor dulu, moga aja bisa main2 ke sana lagi main kereta-keretaan. jam jam rame pas naik kereta emang rad amenyiksa sih, baik dari fisik yg pegel atau idung yg nyium keringet. syukurnya toiletnya gak kotor-kotor amat, kok, malah banyak yang bersih.

    BalasHapus
  9. Kalo aku kopi-hujan-senja-indomie pake telor pake cabe rawit pake sawi yg banyak. Ya Allah laper:(

    Yawlaa kok aku kesel yak pas lari-larian dari gerbong ke gerbong. Apakah misteri angka 4 itu memang nyata? huahahaha
    Meskipun aku belom pernah sama sekali naik kereta, menurutku kalo cowok mah gampang kalo kebelet pipis di kereta. Kata Darma, tinggal masukin ke botol mijon aja. Udah deh, beres. HAHAHAHAHAHA

    BalasHapus
    Balasan
    1. itu bukan mengenang, Ul, mengenyang itu yg ada mah... -_-

      saya sering dapat kejadian aneh ttg angka 4, Ul, ada itu di postingan yg di artikel..

      NGGAK SEGAMPANG ITU YAAAA... EMANGNYA MAU GITU DI DALEM GERBONG NGELUARIN MIZONE DAN NGUCUR DI DEPAN KERAMAIAAAAAAAANNNNN...

      Hapus

--Berkomentarlah dengan baik, sopan, nyambung dan pengertian. Kan, lumayan bisa diajak jadian~