Surat Howhaw #1: Terlahir dan Berakhir Sebagai A

Pontianak, 14 April 2014

Assalamu’alaikum Silvia...
Sudah lama kita tidak saling sapa. Menjauh setelah sekian lama berharap cinta. Kau pergi ke luar kota tanpa meninggalkan jejak berita. Sampai-sampai aku harus mengetuk tiap pintu rumah tetangga. Ya, hanya untuk tahu alamatmu saja. Terkadang aku merasa ingin kembali ke masa lama. Ke masa saat aku belum tahu kenyataan tentang keberadaanku di dunia. Masa saat kita masih bercanda tertawa dengan akrabnya.

Waktu itu kita masih duduk di bangku SMP kelas dua. Aku baru pindah, ah bukan, kembali tinggal di desa kelahiran ayahku tepatnya. Yah, masih bisa dibilang remaja yang berusia belia. Dan tentunya kamu tahu, kita belum pernah saling menyapa karena kelas kita berbeda. Kamu B, sedang aku kelas A. Waktu itu hari selasa pelajaran agama. Ketentuan sekolah, saat pelajaran agama, kelas A dan kelas B disatukan untuk menerima pelajaran dari guru yang sama. Ah, waktu itu aku merasa kita sudah dipersatukan oleh agama.

Mungkin di kelas B kamu juara pertamanya, tapi ingat juga, di kelas A aku yang berkuasa. Dan di mata pelajaran agama, kita akan membuktikan siapa pemenang sebenarnya. Ceramah, iya, melalui tugas ceramah, aku sudah membuktikan bahwa aku juaranya. Mungkin nilai sembilan yang diberikan ibu Rafidah untukmu terdengar luar biasa, tapi tetap saja tidak ada apa-apanya dengan nilaiku yang sembilan koma lima. Waktu itu kamu berkata, “Baiklah, kamu juaranya. Aku akan menyisihkan satu kue bingka yang kujual untukmu selama seminggu setiap harinya.”

Yah, meski kue bingka yang kamu jual tidak begitu berasa, atau mungkin lidahku yang tak sanggup merasa karena terjajah lain rasa, yang jelas aku jadi punya alasan untuk sekadar menyapa menagih upah sang juara. “Buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Seperti manusia, yang sifatnya akan mewarisi sifat orang tuanya,” ucapku mengulangi ceramah yang menjadikanku juara. Sesekali, ah tidak, seringkali juga aku mengatakannya dengan sedikit canda terarah padamu, Silvia. Bahwa kecantikan ibu juga menurun pada anaknya. Dan kamu selalu berpura memukulku dengan wajah merona. Padahal dalam hatimu aku tahu, kalau kau sedang mangalami yang namanya bahagia. Mungkin karena asmara.

Sampai kelas tiga SMA pun kamu tetap memberikan rona yang sama saat kugoda. Padahal status kita sudah diketahui teman sekelas sebagai pasangan juara. Iya, di SMA kita belajar di kelas yang sama. Meraih peringkat satu dan dua bergantian sejak kelas satu hingga kelas tiga. Dan setiap pulang sekolah kita selalu berjalan bersama. Panas matahari di garis khatulistiwa maupun debu jalanan yang disemburkan kendaraan beroda, sama sekali tidak terasa. Mungkin yang seperti itu yang dibilang pujangga indahnya masa SMA.

Kamu mengenal ayahku sebagai pria yang biasa saja, bekerja berangkat subuh, pulang malam tiga hari berikutnya. Iya, pekerjaan ayahku memang mengurus antarkota, walau aku tidak begitu tahu pekerjaan apa sebenarnya. Ibuku, ah iya, ibuku sudah tiada sejak aku SD kelas dua. Meninggalkan aku dan ayah berdua di dunia. Orang tuamu juga aku kenal sama baiknya. Ayahmu pegawai swasta dan ibumu pembuat kue bingka yang selalu kamu bawa dan dititipkan di kantin sekolah di belakang kelas kita.

“Buah jatuh tak jauh dari pohonnya,” kuulangi kalimat itu dengan tambahan, “Seperti kamu dan ibumu yang cantik jelita.” Ah, aku suka sekali menatap wajahmu yang tersenyum penuh rona. Kita selalu bersama, bermain bersama, belajar bersama terlebih menjelang ujian akhir SMA. Sampai-sampai semua warga komplek kita mengatakan kita berpacaran, padahal memang iya. Betapa kita dalam tahap bahagianya.

Hingga suatu malam, saat kita belajar matematika bersama di rumah Fitria, kamu dijemput tetangga. Ada musibah yang menimpa ibumu, bu Asna. Ayahmu sedang keluar kota malam itu dan warga mulai curiga dengan berubahnya kebiasaan lama. Lampu depan rumahmu tidak menyala sebagaimana malam sebelumnya. Teriakan ibumu dari dalam rumah mengejutkan warga. Benar saja, keluargamu sedang didatangi bencana. Ibumu diperkosa.

“Jangan pernah dekati aku lagi, pergi sana! Buah memang akan jatuh tak jauh dari pohonnya,” itu kalimat yang kamu teriakkan dengan amarah saat aku menanyakan kabar ibumu ketika aku sampai di sana. Ah, iya, aku belum tahu apa yang sebenarnya, hingga para tetangga menuntunku keluar rumahmu dan menceritakan semua. Aku juga tidak percaya dengan apa yang kudengar dengan nyata. Ayahku pelakunya. Dia yang memerkosa. Dan ternyata dia anak buah mafia di kota sana. Padahal banyak gadis di komplek kita, tapi entah mengapa dia memilih ibumu yang jelita. Ah, iya aku lupa, ibumu memang terkenal jelita dibanding semua gadis yang ada. Dan katanya dia pacar ayahku sewaktu muda. Itupun aku ketahui dari gosip ibu-ibu tetangga. Malam itu aku pulang dengan hati luka. Ditemani sepi karena ayahku sudah kabur ke kota.

Tiga hari lamanya kita tak bertegur sapa, yang membuatku tak lagi bersemangat hidup di dunia. Bukan, bukan karena ayahku pelakunya, tapi karena anggapan kamu yang menuding aku akan sepertinya. Di rumah aku dihibur oleh Fitria yang menasihatiku agar sabar menghadapi cobaanNya. Padahal seharusnya aku mengatakan padamu hal yang sama karena kamu yang ditimpa bencana. Ah, aku tak kuasa mengingatnya, apalagi ketika kamu datang tiba-tiba. “Memang buah jatuh tak jauh dari pohonnya,” teriakmu lagi yang melihat kepalaku tergeletak di pundak Fitria. Hei, kamu itu salah sangka.

Berhari sampai berminggu kita semakin jauh tanpa sapa. Aku mulai hampa. Dalam kehampaan jiwa itu aku berazam untuk membunuhnya, dia yang membuat semua berubah seketika. Esoknya aku langsung ke kota, mencari ayahku yang katanya anak buah mafia. Tapi aku lupa, aku di sana tak punya saudara. Untuk bertahan hidup aku tak tahu harus bagaimana. Meminta aku dihina, bekerja aku tak diterima. Terpaksa aku menggeluti pekarjaan yang dicela. Mengambil barang yang bukan haknya. Mencuri, merampok, mencopet, semuanya.

Tapi sekali lagi kukatakan, itu semua hanya terpaksa. Demi membuktikan aku tidak sama dengannya dan membuat kamu percaya. Beberapa tahun berteman dengan keras jalanan dan para preman, menjadikan aku lihai mengolah raga, berkelahi, main senjata semua aku jagonya. Bahkan aku termasuk pemimpin perampok salah satu bagian wilayahnya. Sampai suatu ketika, aku melihatnya, dia, dia yang mengacaukan segalanya. Dia berjalan menggandeng wanita muda yang aku kenal bekerja dengan germo di kota.

Dengan pisau tajam di tangan, aku menyongsongnya dan menikam tepat di dada kirinya. Iya, dia sudah binasa. Dia tergeletak tak bernyawa. Tapi anehnya aku biasa saja. Aku tidak berubah menjadi batu selayaknya cerita guru kita. Mungkin kutukan durhaka hanya berlaku kalau orang tuanya bukan anak buah mafia. Aku tertawa dan bergegas kembali ke desa. Bermaksud mengabarkan berita kematiannya dan membuktikan aku tidak sama. Buah yang jatuh bisa saja jauh dari pohonnya, itu yang ingin aku buktikan dengan membunuhnya. Tapi sesampainya di desa, aku tak tahu kalau kamu sudah menikah dengan Alfianda. Ah iya, kamu juga sudah punya anak dua. Aku lupa kalau aku sudah 4 tahun tidak pulang ke desa.

Aku merasa remuk dengan semuanya. Aku langsung kembali ke kota dan bermaksud melupakan semuanya. Membangun hidup lagi tanpa mau menyinggung tentang desa. Dan sekarang aku mau mengatakan lagi, bahwa buah jatuh memang bisa jauh dari pohonnya. Sekarang aku duduk santai menulis surat untukmu di atas meja. Atas kerja keras selama di kota, aku dihormati, tidak dihina seperti ayahku di desa. Karena aku bukan anak buah mafia. Tapi pemimpin mereka, yang polisi disini memanggilku kepala mafia, kelas A.

Ya sudah, aku telah menyampaikan semua. Semoga kamu tidak lagi membenciku atas segalanya. Oh iya, salam untuk anakmu yang sedang pulang ke desa karena libur kuliahnya. Kemarin dia ke kantorku berterima kasih atas sumbangan dana yang kukeluarkan untuk membantu penduduk desa. Uangku yang katanya tiada guna karena dari hasil tercela, ternyata bisa menolong semuanya. Betapa senang aku mendengarnya.



Dariku insan setia








Yang sesekali kau panggil 'Hawa'


NB:
- Surat balasan


Previous Post
Next Post

Oleh:

Terima kasih telah membaca artikel yang berjudul Surat Howhaw #1: Terlahir dan Berakhir Sebagai A Apabila ada pertanyaan atau keperluan kerja sama, hubungi saya melalui kontak di menu bar, atau melalui surel: how.hawadis@gmail.com

12 komentar:

  1. surat nya bagus, bikin terharu :') pilihan katanya juga sudah lumayan keren..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mau aku kirimin surat juga? kalo iya buat komentar yang sama di bawah :)

      Hapus
  2. surat nya bagus, bikin terharu :') pilihan katanya juga sudah lumayan keren..

    BalasHapus
    Balasan
    1. okeh... ditunggu ya...hahahahah

      #memanfaatkan kesalahan koneksi

      Hapus
  3. Ide yang unik :D hahaha Keren Haw :D

    BalasHapus
  4. mas haw ini bener-bener ya, kreatif banget!
    gak ada niat bikin buku bergenre romantic-comedy, mas?

    *nyiapin recehan di celengan buat beli*

    BalasHapus
    Balasan
    1. itu mah keinginan semua blogger... makanya selalu melatih tulisannya dengan membuat artikel.... moga aja entar kesampaian nerbitin buku.

      Hapus
  5. Unik, keren ceritanya. Lanjut ke part 2 duluu

    BalasHapus
    Balasan
    1. silahkan. semoga menghibur... eeee.. ...

      Hapus
  6. pemilihan katanya sungguh mempesona, membuatku takjub hingga menganga. bang haw sungguh layak disapa pujangga.

    BalasHapus
    Balasan
    1. komentarmu malah yang bak seorang pujangga. aku yang baca jadi ikutan nganga.
      *aaa*

      Hapus

--Berkomentarlah dengan baik, sopan, nyambung dan pengertian. Kan, lumayan bisa diajak jadian~