Cukup Itu, Tak Perlu Alasan Lain Lagi

Apapun sasaran yang dituju oleh penembak itu, yang jelas peluru yang dikeluarkan dari senapan yang dipegangnya telah mengenai tubuh seorang anak perempuan berusia sebelas tahun. Pendarahan yang sangat hebat pun terlihat jelas di pinggang anak perempuan itu.

Siang itu, panti asuhan yang berada di pinggiran kota, mengeluarkan isak tangis penghuninya. Meski penembak itu hanya dua orang, yang mengeluarkan tembakan sambil membawa lari sekantong perhiasan yang telah dikumpulkannya dari rumah-rumah yang ada di sekitar panti, namun hal tersebut telah menjadikan beberapa anak panti terluka, bahkan yang paling parah, telah membuat seorang anak perempuan mengalami pendarahan hebat karena terkena tembakan. Melihat keadaan anak perempuan tersebut, seorang perawat yang telah tiba dari rumah sakit menganjurkan untuk segera melakukan transfusi darah.

Perawat dan seorang dokter yang datang dari rumah sakit tersebut adalah orang yang berasal dari pusat kota dan dengan bahasa Inggris dan bahasa Indonesia yang mapan, namun tidak mengerti sedikit pun tentang bahasa yang digunakan oleh orang-orang panti tersebut, bahasa Dayak. Semua penghuni panti asuhan tersebut, baik anak-anak maupun pengurus panti merupakan orang Dayak asli yang tidak memahami bahasa lain. Seharusnya ada kepala pengurus yang fasih berbahasa Indonesia, tapi dia sedang keluar kota.

Perbedaan komunikasi tersebut mengakibatkan permasalahan tersendiri. Dokter tak memiliki stok darah yang bisa di transfusikan pada anak perempuan korban tembak tersebut. Namun waktu yang diperlukan untuk menunggu pendonor baru dari kota sangat tidak memungkinkan. 

Salah seorang perawat yang ikut ternyata bisa berbahasa Dayak meskipun sedikit. Kemampuan yang sedikit itu diperolehnya ketika SMA, saat berteman dengan orang yang bisa berbahasa Dayak. Akhirnya dengan peralatan yang dibawa dari rumah sakit, bahasa Dayak yang tidak lancar dan ditambah bahasa isyarat, dokter meminta pada perawat tersebut untuk memeriksa kecocokan darah si anak perempuan dengan anak lain yang ada di panti.

Setelah tes dilakukan, didapat delapan orang anak yang memiliki kecocokan darah dengan anak perempuan yang terluka tadi. Perawat itu kemudian menanyakan pada anak-anak yang memiliki kecocokan darah, siapa yang mau menyumbangkan darahnya untuk anak perempuan tadi sehingga anak perempuan tersebut tidak meninggal.

Pertanyaan itu dijawab dengan diam oleh ketujuh anak tersebut. Namun, dengan ragu-ragu seorang anak laki-laki dengan perlahan mengangkat tangannya, menurunkan lagi lalu mengangkatnya lagi.
Dengan wajah berbinar, perawat itu membawa anak laki-laki yang mengangkat tangannya kepada dokter yang sudah menunggu dengan siap untuk mengambil darah anak yang mau untuk ditransfusikan. Anak laki-laki tadi lalu dibaringkan, lengannya diusap alkohol dan sebuah suntikan menancap dilengannya sambil menyedot darahnya sedikit-demi sedikit.

Setelah selesai pendonoran, anak laki-laki tadi tiba-tiba menangis  dengan tangisan yang memilukan. Sang dokter kebingungan menghadapinya, dengan bahasa yang diketahuinya, dan tidak diketahui anak tersebut, dokter bertanya,”Kenapa menangis?”

Namun tangisan anak ini semakin menjadi dan dengan tangannya anak ini berusaha menutup mulutnya agar tangisannya tidak semakin meluap. Mendengar tangisan anak tersebut, perawat yang mengantarkannya tadi datang mencari tahu. Dokter lalu menyuruh perawat tadi untuk menenangkan anak lelaki itu dan menanyakan perihal tangisannya. Meski dengan bahasa yang sedikit dikuasai, perawat itu bertanya.

“Apa suntikan tadi membuatmu sakit?”, anak itu hanya menggeleng.

“Apa dokter yang menyuntikmu telah menyakitimu?”, anak itu kembali menggeleng. Dengan ramah dan sabar perawat tersebut menenangkan anak itu. Tak lama sesudahnya, anak laki-laki itu sudah berhenti menangis.
Dokter yang menyuntiknya tadi menanyakan perihal tangisannya pada si perawat. Perawat itu menjelaskan bahwa anak itu hanya salah sangka, dia mengira dia akan meninggal setelah darahnya diambil dan diberikan pada anak perempuan tadi.

“Lalu kenapa anak laki-laki itu masih mau memberikan darahnya?”, tanya dokter.

“Kata anak itu, anak perempuan tadi adalah sahabatnya”, jelas sang perawat.



hawadis howhaw
Previous Post
Next Post

Oleh:

Terima kasih telah membaca artikel yang berjudul Cukup Itu, Tak Perlu Alasan Lain Lagi Apabila ada pertanyaan atau keperluan kerja sama, hubungi saya melalui kontak di menu bar, atau melalui surel: how.hawadis@gmail.com

0 Comments:

--Berkomentarlah dengan baik, sopan, nyambung dan pengertian. Kan, lumayan bisa diajak jadian~