Fiksi Kilat: Rencana Merariq

“Bagaimanapun rencana ini harus aku lakukan. Demi cinta yang tersatukan,” aku membatin sambil memantapkan langkah menuju rumah Pak Hariyadi. Di tengah perjalanan aku melihat Hamdan yang sedang kerepotan dengan mobil kijang birunya. Mungkin mogok.

“Dan, mobilnya kenapa lagi?”

“Eh kamu Di, ini... tiba-tiba mati. Tolong bantuin, lagi buru-buru nih,” pinta temanku ketika SD ini. Aku pindah ke desa Sade ini baru dua minggu setelah sekian tahun meninggalkan kampung halaman ini untuk menuntut ilmu ke Surakarta. Melihat Hamdan yang kelihatannya dikejar waktu, aku membantu memperbaiki mobilnya.

“Makanya, sesekali diservis biar tidak mendadak mati begini. Eh iya, gasnya jangan terlalu kecil waktu dijalankan, bisa-bisa mogok lagi,” saranku ketika mobilnya sudah bisa dinyalakan.

“Iya. Tapi gimana nggak pelan-pelan, remnya rusak begini,” ucapnya sambil sesekali menekan pedal gas dan menahan pedal kopling.

“Memangnya kamu mau kemana sih malam-malam begini?” tanyaku sesaat sebelum mobilnya mulai berjalan.

“Mau ke kota, nganterin anak Bu Asna yang aku culik,” teriak Hamdan sambil mempercepat laju mobil yang dikendarainya.

Ah, iya, aku segera teringat tujuanku malam ini sama sepertinya, melakukan penculikan. Dua hari yang lalu aku pergi ke rumah Pak Hariyadi bermaksud melamar anak gadisnya, Mariana. Tampilanku sudah lumayan, pekerjaanku sudah mapan dan aku melamar dengan penuh sopan. Tapi yang terjadi malah di luar dugaan.

“Kamu mau menghinaku? Memangnya kamu tidak sadar kamu itu siapa? Yang bisa menikahi anakku cuma lelaki sejati,” ucap Pak Hariyadi dengan suara yang meninggi. Ah, iya, kenapa aku jadi pelupa? Aku warga Sade sejak lahir dan harusnya tahu aturan. Melamar anak orang secara sopan adalah penghinaan. Harusnya aku melakukan penculikan, karena hal tersebut lebih dianggap ksatria dan jantan. Iya, jantan, karena harus unggul dari lelaki lain yang juga menginginkan. Ini semacam persaingan.

Aku baru sadar kenapa perempuan tidak menyukai lelaki yang terlalu baik. Ya, karena yang baik tidak pernah memiliki niat melakukan penculikan. Tapi demi cinta yang tak terpisahkan, apa pun akan kulakukan. Jika kelakuanku ini diketahui teman-teman di Surakarta, pasti mereka akan menatapku heran dan menjelekkan. Atau mungkin ada yang menanyakan kemana aku akan membawa si perempuan. Ah, aku anak desa Sade yang tahu aturan dan kebaikan. Untuk melakukan merariq, aku hanya diperbolehkan membawanya ke rumah keluarga, bukan ke hotel atau kosan. Aku bukan penjahat kelamin yang doyan pemerkosaan. Apalagi yang menculik perempuan untuk diperjualbelikan.

Tadi pagi aku dan Mariana sudah melakukan kesepakatan, bahwa malam ini rencana penculikan harus dilakukan. Aku mengendap ke rumah Mariana, mengetuk pelan jendela kamarnya dan Mariana akan keluar melalui jendela. Malam ini rencana itu harus direalisasikan, kalau tidak aku bisa-bisa keduluan. Minggu lalu katanya ada yang hampir berhasil menculik Mariana, tapi digagalkan Pak Hariyadi.

Aku mempercepat langkah dengan perasaan yang mulai deg-degan. Setelah sampai ke rumah Mariana, aku mengendap perlahan menuju jendela yang ditentukan. Ternyata Pak Hariyadi sedang berbincang di depan rumahnya, ini kesempatan. Perlahan aku mengetuk jendela belakang. Tak ada jawaban. Kuketuk lagi, tetap tak ada tanggapan. Aku memutuskan untuk menunggu beberapa saat, kemudian kuketuk lagi perlahan. Tetap tak ada tanggapan. ‘Apa mungkin Mariana lupa dengan rencana malam ini?’ Aku bergumam.

Karena menunggu setengah jam tetap tak ada jawaban, aku memutuskan untuk membuka paksa jendela. Ah, tidak terkunci, dan tidak ada siapa pun di baliknya. Aku memandang ke seluruh isi rumah, tapi tetap saja sosok Mariana tidak kutemukan. Aku memanjat ke dalam, mengintip ke arah luar dan menyusuri seisi rumah. Namun, Mariana tidak ada di dalam.

“Pak Hariyadi! Ada warga kita yang kecelakaan. Itu... di tikungan dekat penginapan,” teriak Asmin yang datang berlarian.

“Siapa memangnya yang kecelakaan?” tanya pak Hariyadi.

“Si Hamdan. Anaknya pak Syafiudin.”

“Innalillah, mungkin itu balasan. Minggu lalu dia mencoba merariq Mariana. Kalau untuk dinikahi, aku tidak masalah. Namun, dia mencoba menjualnya ke germo di kota seperti yang dilakukannya sama anak Pak Bani,” timpal pak Hariyadi. Aku terkejut karena waktu bertemu Hamdan, dia sedang membawa perempuan yang diculiknya. Aku memutuskan keluar, Pak Hariyadi dan istrinya menatap heran.

“Eh, Edi, sejak kapan kamu di dalam? Bapak sepertinya lengah, apa kau sudah berhasil merariq Mariana? Hahaha,” tanya pak Hariyadi dengan tertawa yang sepertinya sejak awal dia sudah merestui kalau aku yang menculik anaknya.

"Iya Pak, pasti Nak Edi sudah berhasil merariq Mariana," tambah istri pak Hariyadi. Asmin perlahan mendekat dan berkata dengan keras tergagap.

“Mariana... Mariana... ada di mobil yang dibawa Hamdan, Bu Asna.”

*****

NB: maaf kalo alur dan bahasa ceritanya masih belepotan. Ide ceritanya saya dapatkan dari twit ini:

Previous Post
Next Post

Oleh:

Terima kasih telah membaca artikel yang berjudul Fiksi Kilat: Rencana Merariq Apabila ada pertanyaan atau keperluan kerja sama, hubungi saya melalui kontak di menu bar, atau melalui surel: how.hawadis@gmail.com

8 komentar:

  1. Desa Sade kayaknya pernah denger di mana deh gitu yaa. Lucu yaa tradisi kita. \;D/

    BalasHapus
    Balasan
    1. di daerah Sasak, Lombok, NTB.... iya, unik banget... :D

      Hapus
  2. Cerpennya unik nih. Simple tapi nggak terduga. Main-main ke.blog yaaa

    BalasHapus
    Balasan
    1. budayanya sih yg unik, cerpen gue mah masih acakadut.. oke, lgsung meluncur\:D/

      Hapus
  3. Cerpennya unik nih. Simple tapi nggak terduga. Main-main ke.blog yaaa

    BalasHapus
    Balasan
    1. *akhir-akhir ini sering banget double komen*

      Hapus

--Berkomentarlah dengan baik, sopan, nyambung dan pengertian. Kan, lumayan bisa diajak jadian~