Cerita Pendek: Diary Rumiang

“Ngapain sih di dunia ini ada acara santet-santet segala?”

Aku memulai obrolan kami malam ini di taman kota. Iya, tahu, pemilihan topik obrolannya nggak tepat. Namun, mau bagaimana lagi. Aku terlalu rikuh dengan situasi ini. Lalu tadi pagi sebelum berangkat, aku mendengar cerita tetangga yang katanya kena santet. Di perutnya ditemukan beberapa paku dan jarum.
cerpen
Menikmati malam di taman kota
Dia bertanya, memangnya kenapa dengan santet? Aku menatapnya datar, lalu membuang napas panjang. Pake ditanya “kenapa” lagi. Sudah jelas bahwa santet itu nggak baik, ilmu hitam, mengirim barang-barang tajam yang bisa melukai perut korbannya. Dengan santai dia tanya “kenapa”? hey…

Namun, biarlah. Mungkin juga itu usahanya biar obrolan kami berlanjut. Padahal tadi aku berharap dia akan mengalihkan membahas hal lainnya. Topik santet ini hanya nggak sengaja kesebut. Aku lalu menceritakan apa yang kudengar tadi pagi tentang tetanggaku itu.

“Oh, begitu. Ya, senjata itu, kan, tergantung siapa yang menggunakannya. Kalo saja pada santet tersebut, paku dan jarumnya bisa diganti nasi goreng, bubur ayam, plus kerupuknya, pasti bakal jadi program pemerintah itu. Santet bisa dimanfaatkan mengentaskan kelaparan di permukiman kumuh,” jelasnya.

“Nasi goreng dan kerupuknya langsung dikirim ke perut orang yang dituju gitu?” tanyaku sambil tertawa.

Dia mengiyakan. Lalu kami mulai membahas kenapa hanya bahan logam yang dikirim, apa karena logam bersifat netral dan bisa ditarik energi negatif atau positif seperti pada medan magnet. Sampai berniat menghubungi nomor kontak yang disediakan oleh situs santet online. Karena kami sudah tidak bisa menemukan jawaban apakah nasi goreng dan kerupuk bisa menggantikan paku dan jarum pada santet.

“Rum, kamu masih menyukai bulan?”

Mahesa menanyakan hal tersebut setelah tawa kami reda karena bahasan santet tadi. Aku mengiyakan. Sejak kecil aku memang sangat menyukai menatap bulan. Terutama kalo lagi ngerasa sepi, aku bakal duduk di balkon rumah sambil melihat ke arah langit.

Bahkan dalam cerita drama pengungkapan perasaan, aku suka ungkapan yang bawa-bawa bulan. Makanya nggak tertarik dengan ucapan I love you 3000. Kayak ngebahas minuman vitamin C saja. Walo nggak bisa meminta seseorang mengatakannya, karena bisa mengurangi ketulusan orang yang mengucapkan, tapi aku memang lebih suka kalo dapat ucapan ‘I love you to the moon, and back’. Jarak bulannya juga udah ngalahin angka 3000 tadi, kan.

“Haduh…”, Mahesa seperti mengeluh dengan jawabanku, “Nggak bisa ditawar lagi apa?” Lanjutnya.

“Memangnya kenapa?” Tanyaku. Dia melirik ke arahku, manatapku sebentar, lalu mendekatkan wajahnya ke telinga kananku.

I love you to the Icarus, and back.”

“Hah?”

Sebelum aku menanyakan nama atau mantera apa yang barusan dia ucapkan, dia sigap melepaskan tas ranselnya. Lalu mengeluarkan sebuah buku yang ukurannya cukup besar dengan tulisan ‘ENSIKLOPEDIA ASTRONOMI’. Dia menunjukkan halaman-halaman di buku tersebut yang sudah ditandai olehnya.

Jarak Bumi ke Bulan

Bulan adalah satelit alami Bumi satu-satunya dan merupakan satelit terbesar kelima dalam Tata Surya. Bulan juga merupakan satelit alami terbesar di Tata Surya menurut ukuran planet yang diorbitnya, dengan diameter 27%, kepadatan 60%, dan massa ¹⁄₈₁ dari Bumi.
Jarak ke Bumi: 384.400 km

Apa itu kecepatan tahun cahaya?

Satuan tahun cahaya didasarkan pada kecepatan cahaya dalam menempuh suatu jarak. Yang mana dalam satu detik, cahaya dapat menempuh jarak 299.792,458 kilometer per detik, atau kadang dibulatkan menjadi 300.000 kilometer per detik.

Bintang paling jauh yang berhasil ditemukan

Teleskop Hubble mencetak rekor setelah menangkap penampakan sebuah bintang terjauh yang pernah dilihat. Diperkirakan jarak bintang tersebut mencapai 9 miliar tahun cahaya dari Tata Surya. Bintang tersebut merupakan bintang raksasa berwarna biru yang bernama Icarus. Sebagai bintang individu, Icarus tercatat sebagai yang terjauh yang pernah ditangkap lensa Hubble.

Setelah perlahan membacakan dan menceritakan tentang kalimat yang ada di buku tersebut, Mahesa lalu meluruskan duduknya. Kepalanya sedikit didongakkan, pandangannya tertuju ke arah langit.

“Aku mencintaimu sudah sejauh itu,” ucapnya pelan. Mukanya bersemu saat kami bertatapan setelahnya. Aku mengulum senyum.

****

Kejadian semalam berhasil membuat bangun tidurku ceria pagi ini. Sekelebat, dua kelebat, tiga kelebat, entah berapa kelebat lagi itu bayangan tentang kejadian tadi malam bakal keputar di kepala. Perlahan kelebatan tersebut memicu kerinduan. Aku inisiatif buat mengingat-ingat kapan kami mulai makin dekat.

Aku mulai membongkar isi laci lemari buku di kamar. Kalo tidak salah, aku makin dekat dengan Mahesa saat kelas dua SMA. Waktu aku masih rajin-rajinnya menulis diary tiap hari di penghujung malam. Ketemu. Diary bersampul merah muda dengan karakter princess itu kubawa ke tempat tidur. Kubuka tiap lembar halamannya dan mengenang saat masih satu SMA dengannya.


Senin, 3 Agustus 2015
Walo sudah naik kelas sebelas, teman-teman di sekolah masih saja suka meledek namaku. Ini udah kayak perulangan tahunan saja. Tahun lalu pas orientasi sekolah, hampir tiap hari aku disuruh maju dan jadi bahan tertawaan senior. Apalagi masalahnya kalo bukan karena nama anehku ini. RUMIANG. Bahkan saat pengenalan dengan guru baru di kelas tadi, aku jadi bahan olok-olokan. AKU BENAR-BENAR BENCI DENGAN NAMAKU SENDIRI.


Kamis, 6 Juli 2015
Setelah selesai makan dari kantin, aku diledekin lagi ama anak perempuan kelas XII IPS 3. Mereka ngumpul depan lab yang jadi jalan kalo mau ke kantin atau sebaliknya. Sepertinya mereka emang udah niat buat ngeledekin aku. Kalo nggak, mana mungkin mereka bisa kompak gitu ngeledeknya. Mungkin gara-gara si Herman yang nyamperin aku kemarin di jalan pulang. Gebetannya mereka, kan, dia.


Minggu, 16 Juli 2015
Waktu ke toko alat tulis tadi siang, di sana ada Herman, si kakak kelas idamannya geng Tia, yang suka ngeledekin aku. Keluar dari sana gasengaja ketemu Rina, anggota gengnya. Mati udah. Walo nggak ada apa-apa, pasti dia bakal bilang kalo aku ngajak jalan Herman. Senin besok pasti mereka bakal makin kenceng ngata-ngatainnya.

*Buku catatan Sejarah dipinjem ama Mahesa, hari Rabu jangan lupa diminta, Kamisnya ada ulangan soalnya.


Senin, 17 Juli 2015
“Nama, kok, nggak ada artinya. Apaan RUMIANG?"

“Masa nggak tahu, sih, artinya miang? Itu, kan, kalo di kamus artinya gatel.”

“Sama kayak sifatnya, dong. Suka gatel ama guru dan senior cowok.”

Benar, kan. Gengnya Tia itu emang bangsat kalo ngatain orang. Sudah kulawan bahwa aku nggak ngajakin Herman, tapi mereka nggak percaya. Kenapa nggak tanya ke Hermannya saja, sih? Lagian aku nggak suka ama Herman. Tebar pesona terus orangnya. Sok baik. Sok perhatian, padahal daftar cewek yang dideketinnya banyak.


Selasa, 1 September 2015
Sumpah hari ini ngakak liat orang dicuekin. Pas lagi makan di kantin ama teman-teman sekelas waktu kelas X dulu, mereka main gombal-gombalan. Bapak kamu polisi ya… Kakimu nggak apa-apa? Bisa jalan, kan? Yuk… ahahaha..

Sekalinya aku yang digombalin pake kalimat “Estehku jadi makin manis saat aku melihatmu” oleh Randi, si Mahesa nyeriusin, dong. Katanya, saat lidah mengecap yang lebih manis, maka makanan yang nggak manis bakal jadi terasa pahit. Intinya, yang manis akan terasa manis setelah mengecap yang pahit. Jadi, kalo estehmu tiba-tiba jadi manis, ya, berarti orang yang kamu lihat itu lebih pahit. Langsung bubar. Dia ditinggal sendirian. Ahahaha…


Jumat, 18 September 2015
Tia ama Rina berantem hari ini di depan toilet siswa. SYUKURIN. Nuduh orang mulu, tapi ternyata yang ngambil kesempatan anggota gengnya sendiri. Herman keliatan lagi jalan sore, boncengan ama Rina kemarin. Padahal minggu lalu Hermannya udah ngajak Tia nonton, dan ama Tia dibangga-banggain terus. Ampe niat banget nungguin aku sepulang sekolah cuma buat bilang kalo Herman sudah jadi miliknya. Ambil saja sana.

Mahesa juga kampret. Buku catatan yang dia pinjem malah keronyok. Ketindihan pas lagi tidur, katanya. Dia ngapal materi pelajaran sambil tiduran. Tapi aku nggak percaya, palingan itu buku dia emang sengaja dipake tidur nutupin muka ama dia. Bukuku, kan, wangi.


Minggu, 11 Oktober 2015
Lagi lagi aku nanyain tentang arti nama Rumiang ini ke ibu. Jawabannya pun masih sama, beliau nggak tahu. Nanya ke ayah, apalagi. Ayah mah taunya kalo mimpi kegigit ular dan ularnya ada 5, itu nomor yang keluar biasanya 4513 atau 1345.

Lalu ibu cerita, kalo nama Rumiang ini pemberian dari mendiang kakek. Sebelum wafat, beliau pernah berpesan, kalo nanti dia punya cucu perempuan, beliau minta diberi nama “Rumiang”. Artinya apaan, nggak ada yang tahu.

Kakek sadar nggak, sih, kalo nama ini memberatkan cucunya? Buat dibikin nama panggilan saja susah. Cenderung jadi ledekan baru lagi. Itu Herman ama senior lainnya suka benget nyapa ngegodain pake nama panggilan “iang”, sama kayak orang lagi ngerayu manggil “sayang”. Jijik.


Selasa, 10 Oktober 2015
Hari ini aku ngerasa senang. Ahaha. Kan, Mahesa tadi ke kelas buat minjem catetan Geografiku, sekalian aja kutanyain kenapa dia serius betul dengan pelajaran peminatan. Soalnya, bagi anak IPA, semester depan juga apa-apa yang diketahui di pelajaran Geografinya nggak bakal ada artinya lagi.

Dia bilang, kalo semua pelajaran itu penting. Terlebih udah dikasih nama “Geografi”. Apa-apa yang sampai diberi nama, itu menunjukkan hal itu penting. Kita cuma nggak tahu saja sepenting apa.

Dia lalu menceritakan tentang kucing di rumahnya. Kucingnya itu diberi nama berdasarkan warna bulu dan kebiasannya pas di rumah. Juga benda-benda lainnya yang dia anggap penting, pasti bakal diberi nama dan setiap nama pasti ada artinya.

Aku protes, kan, “Kalo emang semua nama ada artinya, lalu arti namaku apaan? Gatal-gatal itu? Atau hanya formalitas biar ada nama saja?”

Dia jawab, “Ada artinya Rum. Namamu itu punya arti. Di hidup seseorang. Bahkan mungkin sangat penting."

Dia lalu balik ke kelasnya. Aku masih bingung apa maksudnya, tapi aku senang.


Sabtu, 24 Oktober 2015
Arti namaku secara harfiah sudah tidak begitu menggangguku lagi sekarang. Mereka mau ngatain apa juga bodo amat. Kita sadar bahwa ada orang yang mengharapkan dan menganggap kita penting itu ternyata bisa menyembuhkan luka bertahun-tahun. Mahesa memang nggak menunjukkan kalo maksudnya aku penting di hidupnya, tapi perasaanku mengatakan begitu.


Sabtu, 13 Februari 2016
Seharusnya aku nggak kebawa suasana menjelang valentine buat nanyain maksud Mahesa. Padahal aku sudah lebih baik setelah ucapannya dia beberapa bulan lalu itu. Tapi gimana? Aku jadi suka ama dia. Toh, dia juga satu-satunya teman kelas dulu yang nggak pernah nanyain apa artinya nama Rumiang. Dia juga nggak pernah ngeledekin.

Karena itu, aku ngerasa Mahesa juga sebenarnya suka ama aku. Tapi sifat kaku dan logisnya itu ngalangin buat ngaku. Saat tadi kutanya maksud dari perkataannya dulu, apakah aku punya arti bagi hidupnya dia? Dia bilang,

“Namamu memang punya arti di hidup seseorang, tapi bukan aku, seseorang…"

Lalu dia gugup, mukanya memerah dan menyegerakan pulang. Aku jadi bingung. Dia beneran nggak nganggep aku sebagai orang spesial, atau sebenarnya suka tapi nggak kuasa buat ngungkapin, sih? Entahlah. Aku sedih pasti, tapi ngeliat dia juga nggak dekat ama siapa-siapa, yasudahlah.


Rabu, 13 April 2016
Mahesa masih suka minjem buku catetan pelajaran peminatan ke aku. Aku yang sudah terlanjur baper dengan dia, nganggepnya itu semacam perhatian. Ngeliat langsung buat tau kabar, serta membantu buat rajin nyatet. Kalo nggak rajin, dia nggak bakal bisa minjem lagi. Atau aku yang rajin nyatet biar dia minjemnya ke aku terus, ya?

Pokoknya, gini aja dulu udah. Toh, kalo emang sama-sama suka terus selanjutnya mau apa? Masih SMA gini. Kalo ada cewek kelas lain yang ngedeketin dia, baru deh aku unjuk gigi. xD Love you to the moon, Mahesa.


Aku menutup diary yang kubaca ini. Geli sendiri jadinya. Sampe lulus sekolah aku dan Mahesa tetap dekat. Ya, dekat yang nggak dekat-dekat amat. Dekat yang sengaja ngelama-lamain buat ngobrol saat lagi ada perlu.

Namun, di jenjang perkuliahan ini, perasaanku mulai insecure. Walo masih bisa ngechat nanyain keadaan atau kesehariannya, tapi aku nggak bisa lihat langsung dia gimana ama teman-temannya yang perempuan.

Makanya, aku makin intens ngehubungi dia. Sampai akhirnya kami membutuhkan ucapan pengakuan saling suka itu tadi malam. Buat menjaga dan semacam punya hak buat nanyain apa-apa yang dirasa mengganggu hubungan kami. Walo masih aja dia kaku dalam bersikap.

****

Sepulangnya dari taman kota tadi malam…

“Aku boleh memegang tangan?”

Di kepala lelaki yang patuh sama aturan, untuk melakukan apa-apa yang dirasa nggak lazim atau dirasa bakal dianggap nggak sopan, mereka bakal melakukannya setelah dapat izin. Walaupun sekadar memegang tangan pasangannya. Padahal kalo dia langsung tiba-tiba menggandeng atau menggenggam erat tanganku saat di jalan pulang ini, bakal kerasa lebih romantis. Terlebih di saat hujan baru reda dan masih menyisakan langit mendung dan udara dingin.

Namun, ya, sudahlah. Kita nggak bisa memaksa tiap orang untuk memiliki pandangan yang sama terhadap hal-hal romantis. Lagi pula, ini pertama kalinya kami pulang bersama dengan perasaan saling memiliki.

“Iya, boleh,” jawabku malu-malu, sambil lebih memelankan ayunan tangan kananku saat berjalan. Dia lalu mengangkat tangan kirinya ke depan dadanya, lalu memegang tangan tersebut dengan tangan kanannya sendiri.

“Dingin banget ini. Harusnya tadi bawa jaket atau hoodie. Tapi nggak keliatan aneh, kan, kalo kita ngobrol sambil jalan sedangkan aku menangkupkan tangan kayak lagi memohon pada Tuhan gini?” Tanyanya pelan.
...
..
.
“SIAPA SURUH NGGAK BAWA? MALAH BAWA ENSIKLOPEDIA,” teriakku senang dalam hati.

rumiang
2) Kayak gini dia megang tangannya sendiri


Sumber gambar:
1) https://www.pegipegi.com/travel/10-tempat-wisata-malam-di-surabaya-yang-hits/
2) https://m.suara.com/health/2017/01/13/133500/tubuh-gampang-kedinginan-bagaimana-mengatasinya
Previous Post
Next Post

Oleh:

Terima kasih telah membaca artikel yang berjudul Cerita Pendek: Diary Rumiang Apabila ada pertanyaan atau keperluan kerja sama, hubungi saya melalui kontak di menu bar, atau melalui surel: how.hawadis@gmail.com

20 komentar:

  1. Hmmmm. Mahesa kok lucu sihhh. Kirain mau izin megang tangannya Rumiang... Tapi aku suka :3

    BalasHapus
    Balasan
    1. Rumiangnya juga ngira begitu. Tapi ya baru jadian, masih malu-malu~

      Hapus
  2. Rumiang. Oke, itu memang nama yang aneh. Bahkan setelah iseng mencari di Google yang muncul itu Rumyang. Wahaha. Memilih nama tokoh buat saya memang menjadi kesulitan tersendiri.

    Tetap ya seorang Haw sempat-sempatnya memasukkan unsur-unsur IPA. Mantaplah.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aku biasanya ngasal aja sih kalo mau ngasi nama. xD tapi karna ini masalahnya terkait nama, ya berusaha milih nama yg aneh, tapi beneran ada.

      Dulu pernah tahu ada org yg namanya Tamiang, tapi tamiang sendiri ada artinya. Yaudah ganti Rumiang. Ngecek di gugel, ada dong bu dokter yg bernama itu.

      Hapus
  3. "iang" nama gebetan saya pas SMP. jadi inget lagi, jadi kangen.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iang Hendrianti namanya ya...

      Hapus
    2. Lupa nama panjangnya. Mungkin "iaaaaaaaaang". Masa gitu.

      Beneran lupa, tapi inget rasanya pas boncengin, dipeluk dari belakang. Terus abis bensin, terus dia ketinggalan di pom bensin.

      Hapus
    3. HAHAHAHAHAHA bangsat kenapa bisa ketinggalan asyuuu

      Hapus
    4. Dian memang pinya hal memorable ama pom bensin, iphone-nya kemaren juga ngalami hal yg sama di pom bensin...

      Yan, lu harus hati-hati kalo mau ke pom bensin deh...

      Hapus
  4. Anjing megang tangan ternyata tangan sendiri bangsat hahahaha.

    Haw, gue pengen disantet dong tiga kali sehari. Pagi nasi uduk, siang mi ayam bakso, malam martabak jumbo jamur. Makasih.

    Anjirlah, bahkan di dalam cerpen pun unsur logika ilmiah ala Hawadys masih kental banget. Karakternya udah jadi banget ini mah, udah gak bisa ditempel-salin sama bloher lain apalagi sama si bloher yang ono yang bidang fokusnya sama. Wkwkwk.

    Btw Haw, gue mau buka diskusi di sini. Hahaha. Jadi beberapa waktu lalu gue baca tulisan soal gimana perhitungan tahun cahaya kalau kita ngeliat planet di luar bumi, dari bumi. Nah, gue jadi punya pertanyaan: mungkin gak sih planet yang jauhnya sampai 9 miliar tahun cahaya itu (kan tadinya di foto itu planetnya kosong, dan secara teori itu kan refleksi 9 miliar tahun cahaya yang lalu yang kita lihat) sekarang udah jadi planet yang sama atau bahkan lebih maju dari planet kita sekarang?

    Sama oh iya, nama tokohnya bagus. GOKS!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bloger yang mana nih, Man? Wqwq.

      Hapus
    2. Spill Woy... biar gak nebak2 ini...


      Firman kocak, ngajak diskusi di artikel fiksi gini. Jadi kayak kalo di luar itu ada kehidupan dan meneliti bumi, maka planet itu hanya melihat dinosaurus. Ya kalo memang ada kehidupan di planet 9 miliar tahun cahaya tersebut, kemungkinan besarnya mereka bakal lebih maju, bisa secara teknologi, bisa juga secara mutasi atau evolusi. Karena bedasarkan jarak dan kondisi luar angkasa dan kebanyakan planet jauh lainnya, untuk manusia, hidup di planet tersebut saja kemungkinannya sangat kecil. kalo ada yg sampai hidup di sana, ya mereka berarti lebih maju.

      Hapus
    3. Enggak punya temen diskusi yang paham fisika, Haw. Wkwkwk.

      Aduh jadi pengen nanya lagi tapi ribet banget mesti buka postingan ini secara berkala anjir. Hahaha

      Hapus
    4. Ah, gua tidak mau menemani. Ikutan stress entar gua. Lu kan nanyanya bahasan fisika yang tinggi-tinggi kelas per-film-an atau elon musk. Gua mah tau yang dasar-dasar saja.

      Hapus
  5. I love you 3000 enggak mempan buat pecinta bulan jadinya I love you to the icarus and back. Kreatif tulisanya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Karena i love you 3000 akan terlihat manis kalo yg ngatakannya anak kecil, mereka mendengar balsan i love you too (two), sehingga memikirkan angka yang besar buat nunjukin dia lebih cinta. namun, buat orang dewasa yang mengenal angka lebih tinggi lagi, itu jaid keliatan kecil. makanya mencari hal yg lebih besar lagi. adanya cintaku seluas samudra juga karena hal yg mirip-mirip, kok.

      Hapus
  6. Coba dibuat proposal, terus bener-bener diajuin ke pemerintah, Haw. Simbiosis mutualisme banget ini.

    Dukun santet laris manis-->income naik-->keluarganya sejahtera.

    Rakyat yang kelaparan jadi kenyang-->bisa fokus buat kerja nyari nafkah-->keluarganya sejahtera juga.

    Sementara pemerintahnya? Yabisa bisa tidur-tidur santai di kursi parlemen sana dong. Enggak ding! Mereka bakal fokus buat ngerjain program kerja yang lain. Biar rakyatnya makin sejahtera gemah ripah loh jinawi. He...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nggak bisa sekarang, siatuasinya belum siap. harus ada negara lain dulu yang mengawali ttg teknologi mengubah makanan jadi gelombang radio dan dihubungkan organ tubuh.

      tapi ini tidak mustahil juga, karena saran anggota menteri, biar gak terjadi penusukan, diminta belajar debus. berarti ya tinggal nunggu momen saja biar santet bisa jadi program.

      Hapus

--Berkomentarlah dengan baik, sopan, nyambung dan pengertian. Kan, lumayan bisa diajak jadian~