Jadi Orang Pendek Itu Istimewa

Assalamu’alaikum…

Pertengahan bulan kemarin, saya ikutan melakukan perjalanan pendek ke puncak gunung Gede Pangrango. Dua hari satu malam, doang waktunya, udah lengkap ama naiknya, turunnya, istirahatnya, poto-potonya, keujanannya dan antrenya. Gela, walo udah di wilayah pegunungan, nggak ada kendaraan, nggak ada ATM, nggak ada pom bensinnya juga, masih aja ngantre. Jadinya, kami hanya bisa melangkah pendek-pendek.

pendek
1) Jalan bertangga jalur cibodas

Selain antreannya, jalur Cibodas yang kami lalui juga membuat kami mengembuskan napas pendek. Sayang banget kalo ngembusin napasnya panjang, boros, cepat lelah. Namanya naik gunung, tentu dong jalannya menanjak, masalahnya, itu jalurnya sudah diatur sedemikian rupa berbentuk tangga batu berundak-undak, beraturan. Akibatnya, kaki akan dipaksa melangkah, mengangkat kaki, dengan ketinggian yang sama terus-terusan. Titik beratnya akan bertumpu pada titik yang sama selama menelusuri jalur tersebut.

Ketika titik berat pada kaki, biasanya betis dan lutut, mengalami cidera, itu akan membuat sakitnya makin luar biasa. Jika jalannya tidak berundak, menanjak atau landai saja, kita bisa mengatur lebar dan tinggi langkah sesuai batas cidera kaki. Kalo berundak, bertangga, kita mau tidak mau harus memaksa menekuk lutut dan mengangkat kaki sesuai tinggi tiap anak tangganya, kan. Cideranya bakal makin parah. Kebetulan sekali waktu turunnya saya mengalami cidera. Sepanjang menuruni jalurnya, saat berpapasan dengan pendaki lainnya, saya cuma bisa menyunggingkan senyum pendek, nahan sakitnya yang panjang.

Tinggi pohon di gunung
Mungkin kita semua pernah mendengar sebuah pepatah “makin tinggi pohon, makin kencang anginnya”, iya, kan? Kira-kira maksudnya, semakin banyak prestasi yang dicapai, makin banyak hal yang didapatkan, maka ujian dan cobaan yang datang juga bakal semakin banyak. Saat saya sampai di puncak gunung, kok, ya, sepertinya pepatah tersebut malah kebalik.

Di puncak gunung, anginnya begitu kencang. Setidaknya lebih kencang dibanding daerah rendah atau lembah. Jelas, dong, karena itu puncak dan puncak itu tinggi. Namun, pohon-pohon di puncak gunung, semuanya pendek. Nggak ada yang benar-benar tinggi. Berbeda dengan daerah rendah atau di lembah, pohonnya tinggi-tinggi. Bahkan ada yang sangat tinggi.


pendek
2) Pohon di lembah tinggi-tinggi

Di puncak gunung, pohonnya pendek, di lembah, pohonnya tinggi. Yang dapat angin kencang, tentu yang di puncak gunung. Pohon yang pendek. Kalo seperti itu, harusnya pepatah tadi mestinya berbunyi, “semakin kencang anginnya, pohon-pohonnya akan semakin pendek”. Iya, nggak, sih?

Jika angin yang kencang merupakan lambang dari cobaan akibat memperoleh prestasi, maka pohon yang pendek memang diberi keistimewaan untuk memperoleh cobaan terbesar. Dia akan ditumbuhkan di puncak gunung yang merupakan suatu pencapaian tertinggi. Walo nggak bakal dikagumi, sih, karena di puncak gunung, orang lebih suka menatap awan dan munculnya matahari.

Lalu, jika kita ingin jadi pohon tinggi yang dikagumi, maka kita harus berada di tempat-tempat yang rendah seperti lembah. Memulainya dari bawah. Gimana? Sudah seperti motivplakor belom?

Pulang dari gunung, lewat perumahan yang banyak polisi tidur
Karena saat memesan ojol, driver-nya nggak bawa helm. Mau nggak mau harus lewat jalan-jalan kecil, kan. Saat melewati tiap jalan di suatu perumahan, bapak driver-nya nggak bisa ngebut. Banyak polisi tidur. Mana jarak antar polisi tidurnya pendek-pendek lagi. Gigi satu terus, pas mau masuk gigi dua, udah ketemu polisi tidur lagi.

Yang menyebalkan juga, bentuk polisi tidurnya aneh-aneh. Ada yang tajem seperti segitiga, ada yang tinggi banget, ada yang miring, ada yang dari kayu, ada yang dari semen, aspal, ban karet dan selang. Motor atau mobil yang lewat kayaknya nggak berenti sambat juga itu kalo bisa ngomong.


pendek
3) Polisi tidur

Saya makin heran dengan orang-orang di Jakarta ini. Mereka mau jalanan mulus. Sehingga motor atau mobil mereka tidak cepat rusak. Jalannya juga jadi lancar. Setelah jalan diperbaiki, malah dibikinin polisi tidur yang banyak. Ya, kan, balik kayak awal lagi. Jalanannya nggak lancar dan bikin kendaraan cepat rusak.

Kalo banyak polisi tidurnya, kita juga nggak bisa punya mobil keren dan mewah di situ. Bahkan ngeliatnya lewat saja nggak bisa. Mobil yang dianggap keren dan mewah biasanya diapain? Diceperin. Gimana coba lewatnya kalo polisi tidurnya tinggi-tinggi?

Namun, karena itu, saya jadi sadar kalo orang pendek itu diistimewakan
Pikirkan saja, pohon diciptakan pendek karena ditujukan untuk mengisi tempat-tempat yang tinggi. Yang mana tempat tinggi itu adalah tempat yang memiliki pemandangan sangat indah. Istimewa, kan?

Mobil yang keren dan mewah juga. Diceperin. Dibikin jadi pendek sehingga tidak cocok dengan jalan yang rusak. Karena tujuannya memang untuk berkendara di jalanan yang mulus.

Orang pendek sepertinya juga begitu. Diciptakan agar tidak cocok dengan orang-orang kasar yang merusak (dasar, lu, udah jelek, pendek!). Karena tujuannya supaya bisa bersanding hanya dengan orang yang hatinya tulus.  



Sumber gambar:
1) https://travel.tempo.co/read/1086802/ini-alasan-pendaki-memilih-jalur-cibodas-saat-jelajah-gunung-gede
2) https://tekno.tempo.co/read/1193140/pohon-tertinggi-ada-di-malaysia-melebihi-lebar-lapangan-bola
3) http://bogor.tribunnews.com/2016/03/16/ini-sejarah-istilah-polisi-tidur-di-indonesia-ternyata-sudah-ada-sejak-dulu
Previous Post
Next Post

Oleh:

Terima kasih telah membaca artikel yang berjudul Jadi Orang Pendek Itu Istimewa Apabila ada pertanyaan atau keperluan kerja sama, hubungi saya melalui kontak di menu bar, atau melalui surel: how.hawadis@gmail.com

12 komentar:

  1. jadi ingat pendakian ke gunung gede beberapa tahun lalu. yah, kan.. baca postingan ini, bikin saya kangen naik gunung..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Padahal cerita naik gunungnya nggak saya ceritain bener-bener. Gunung segitu mudahnya ya dikangenin... nggak kayak saya... :(

      Hapus
  2. Gokil. Cuman, saya kalau lagi di ketinggian, enggak liatin awan dan matahari. Saya selalu nyari laut. Rasanya enak banget kalau bisa ngeliat laut dari atas gunung. Hehe.

    Btw, soal polisi tidur itu, pernah saya twitkan pada 8 September 2013. Akhirnya ada juga yang sepemikiran dengan saya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nggak ada laut, Bang, di sana. Kalo di gunung atau bukit daerah pantai sih iya, saya juga demen. ngalami pas ke daerah surabaya, biasanya pas naik jalan menanjak pake motor, minggir dulu buat berenti dan noleh ke belakang. Itu garis horison pantainya seolah sejajar ama atap2 rumah dan kapal2 nelayan lewati di atasnya.

      itu bukti pentingnya infrastruktur, di kampung saya yang berbentuk kepulauan, motor saja baru ada atau baru bisa masuk sekitar tahun 2005, mobil baru bisa masuk tahun 2016 ketika jembatan baru jadi. Setelah itu baru dibangun polisi2 tidur. Sehingga, agar bisa berpikir seperti Anda di tahun 2013 itu, saya perlu waktu 6 tahun lebih lama. Mari dukung pembangunan infrastruktur.

      Hapus
  3. Filosofi pohon tinggi di tempat yang rendah dan pohon pendek di tempat yang tinggi itu bikin aku mikir gini: mau jadi yang mana, orang yang jago berenang tapi cuma di kolam yang dangkal, atau orang yang masih belajar berenang tapi di kolam yang dalam. Eh gimana sih kok jadi ga nyambung wkwk.









    Sebagai orang yang pendek tapi tidak stunting, saya menyetujui paragraf terakhir dari tulisan ini. Sekian dan terima kasih.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, mirip-mirip, walo saya lebih nekankan pada keistimewaan dalam kekurangan (yang dirasa). Bedanya, kalo pada renang, orang bisa melakukan di keduanya jika mau berusaha sedikit lebih banyak. Namun, untuk pohon, bakal kesusahan untuk meninggikan diri di atas gunung yang lingkungannya pun tidak ada yang mendukung untuk tumbuh tinggi. angin kencang, unsur hara, keadaan tanah,... ...

      Bagaimana pun keadaannya, moga ketemu orang yg tulus aja lah, yak. atau, jaid bagian yg tulus tersebut.

      Hapus
  4. Jadi obrolan waktu kita di motor itu sebetulnya kamu lagi ceritain beberapa draf tulisan ini, ya. Hahaha.

    Pengin merasa tinggi badan ini ideal, tapi kok sepantaran sama anak-anak SMA zaman sekarang. Bahkan SMP. Wqwq. Nasib cowok yang tingginya enggak menyentuh angka 170-an gini nih.

    Sama kayak Firman, saya pun pernah kepikiran soal itu (mungkin orang-orang yang sebel sama polisi tidur pernah kepikiran). Bedanya, saya enggak inget percisnya kapan dan kayaknya kagak sampe dijadiin twit. Lagian, wajar hal kayak gitu, kan? Macam beberapa obrolan kita soal selebtwit. Twit-twit mereka yang banyak retwit itu, seenggaknya ada yang pernah kita tulis juga. Kalimat galaunya Reyhan Ismail pun katamu mirip sama dwitasaridwita atau hantu timeline. Saya cukup sepakat. Barangkali cuma beda cara penyampaiannya. Toh, kebanyakan ide pasti pengulangan-pengulangan dari masa lalu. Sekalipun kita merasa telah bikin suatu cerita yang baru pertama kali menurut sepengetahuan. Tapi tanpa pernah kita ketahui, karena keterbatasan waktu buat baca, aksesnya, atau apalah, siapa tahu aja di Kenya atau negara mana gitu ada yang bikin duluan. Jadi kalau ada orang yang sampai saat ini masih gemar bilang, "Apa cuma gue, apa cuma gue blablabla", saya cuma bisa nyengir.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nggak, Yog, justru saya bikin draftnya keesokan setelah kita pulang nonton avenger itu.

      Saya juga tinggi badannya nggak sampe 170, tapi ya udahlah, dari kebanyakan, yang mempermasalahkan tinggi badan itu selain persyaratan atlet dan profesi, ya, hanya orang2 yang sudah berpunya banyak hal. sampe2 tinggi badan pun harus lebih baik.

      ya, begitu lah. Memang tidak semua orang, tapi pasti ada org yg sudah berpikir seperti kita lebih dulu. Mungkin kita saja belum melihatnya mengutarakan. Seperti kata .. kata... kata... aseli saya lupa namanya, padahal salah satu ulama. Dia pernah ditanya kenapa harus buru-buru, dijawabnya, sebab kalo tidak, maka orang lain yang akan menyelesaikannya lebih dulu. Ya itu berarti sebuah pemikiran itu bisa didapat oleh siapa saja.

      "Apa cuma gue" yang paling haqiqi adalah apa cuma gue anak kedua dari orang tua kandung gue sendiri? atau apa cuma gue abang kandung dari adik gue dan adik kandung dari abang gue sendiri?

      Hapus
    2. Jadi beneran tidak ada yang baru di bawah matahari, ya...

      Hapus
    3. Ini anak dari kemaren2 terus2an mempertahankan teori ini mulu. xD

      Iya, nggak ada. Adanya yg berubah atau diubah. sama seperti energi, tak bisa diciptakan, bisanya diubah ke bentuk energi lain sajaaaaaaa.

      Hapus
  5. hhmmm.. sajadi, sajadi

    saya juga pendek kok.. kecil lagi.. tapi banyak!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Anda menceritakan tentang apa sebenarnya?

      Hapus

--Berkomentarlah dengan baik, sopan, nyambung dan pengertian. Kan, lumayan bisa diajak jadian~