Cerpen: Jangan Remehkan Hal Remeh


“Bilang donk kak siapa orangnya!”, pinta Mira pada kakaknya.

“Nggak mau, ntar kalo bukan dia jodoh kakak gimana? Kakak kan bisa malu ama kamu, Mir.”

Keduanya terlihat sangat akrab ketika membicarakan lelaki idola, ah bukan, tepatnya lelaki yang menjadi idaman kakaknya, Fuzi. Akhir-akhir ini Fuzi memang terlihat berbeda. Senyum yang selalu terukir di wajahnya, meski tak ada hal yang membuatnya tersenyum di hadapannya, memang terlihat aneh. Fuzi sering terlihat senyum-senyum sendiri di kamarnya dan hal itu terbaca jelas oleh adiknya.

Dengan agak memaksa yang sambil merengek ala perempuan, adiknya berhasil mempengaruhi Fuzi untuk menceritakan hal yang membuatnya tersenyum.

“Kakak ditembak seorang cowok ya?”, tanya Mira. Fuzi hanya tersenyum.

“Tuh kan, pasti bener. Senyuman kakak tuh dah ngejawab semuanya. Pasti kakak di tembak cowok nih. Tampan ga kak? Baik ga Kak? Bilang donk kak siapa orangnya!”.

“Ih, sok tau... Mending kamu urusin dulu tuh skripsi kamu. Entar malah keteteran lagi.”

“Bilang dulu siapa orangnya! Kok bisa ngebuat kakak yang selama ini anti terpesona ama cowok menjadi senyum-senytum gini.”

“Yeeee... siapa juga yang anti ama cowok.”

“Ga sadar lagi tuh. Buktinya, selama ini, kakak ga pernah pacaran kan. Ampe dah sarjana begini, kakak juga ga pernah terlihat jalan duaan ama cowok, kecuali ama papa.”

“Itu bukan anti, tapi jaga diri. Biar pun kakak ga ngerti-ngerti amat ama larangan berpacaran, tapi sebagai perempuan pinter, kakak bisa mikir kali. Siapa juga yang mau jadi orang murahan, yang dengan mudah dibonceng-bonceng ke sana-sini, digandeng ke sana-sini,

“Bahkan dicium sana-sini, yang kebanyakan abis itu ditinggal gitu aja dengan alasan apa namanya itu? Selingkuh? Cemburu... iihhh... Kakak kan mahal dan suci yang hanya bisa dibawa-bawa oleh orang-orang hebat dan terpilih doank. Weee...”

“Terus, kenapa sekarang kakak malah senyum-senyum sendiri gitu. Pasti tentang cowok kan. Apa kakak sekarang dah nurunin harga?”

“Ciah, ngeledekin nih anak. Bukan nurunin harga tau, tapi dia bisa nyaingin mahalnya kakak.”

“Maka dari itu kak, bilang donk siapa orangnya! Iihhh...”

“Iya-iya...dia temen eSeMPe kakak. Dia itu ....”

Fuzi lalu menceritakan lelaki yang selama dua hari terakhir ini telah membuat dirinya tersenyum. Lelaki tersebut tidak terlalu terlihat tampan. Tapi masih bisa dibilang tampan. Wajahnya tidak sedikit pun mencerminkan wajah korea, yang akhir-akhir ini menjadi idola kebanyakan wanita. Tidak ada tampang korea sedikit pun.

Sejak esempe mereka juga tidak terlihat dekat karena mereka berbeda kelas. Fuzi kelas B sedangkan lelaki ini kelas A. Mereka hanya saling kenal begitu saja. Sama seperti kenalnya dengan teman-teman sekolahnya yang lain. Perihal yang membuat Fuzi mengenal lelaki itu adalah lelaki yang baik yaitu ketika Fuzi sedang menuju ke sekolahnya.

Fuzi berangkat dari sekolahnya sekitar pukul setengah tujuh pagi dan waktu bel masuk adalah jam tujuh pagi. Jarak rumah Fuzi dengan sekolahnya terbilang cukup jauh, padahal sebelum berangkat, Fuzi harus mengantarkan kue-kue buatan mamanya ke warung-warung untuk dititipkan.

Ketika Fuzi dalam perjalanan ke sekolah, rantai sepeda Fuzi putus. Fuzi panik, padahal jarak sekolahnya masih cukup jauh. Dan, dari kejauhan, lelaki itu muncul dengan sepedanya.

“Kenapa sepedanya?”

“Rantainya lepas. Padahal aku lagi terburu-buru, jam pertama kan Fisika, tau kan? bapak Samsurizal itu killer banget, tak boleh terlambat sedikit pun.”

“Kalo gitu, sepedanya dititipin saja ama orang sini, aku kenal kok. Biar kamu aku bonceng saja.”

“Nggak mau, papa marah kalo aku dibonceng ama cowok. Aku jalan kaki saja dan sepedanya aku titipin.”
“Kamu kan terburu-buru, lagian papa kamu ga akan tau kok.” “Memang, tapi itu namanya aku dah ga nurutin kata papa donk. Entar aku malah durhaka lagi...”

“Yaaaahhh... kalo gitu, terserah kamu saja lah.”

Setelah berkata seperti itu, lelaki tersebut kemudian berlalu dengan sepedanya. Fuzi menitipkan sepedanya di rumah penduduk terdekat dan melanjutkan perjlanan ke sekolahnya dengan berjalan kaki. Setibanya di sekolah, Fuzi langsung menuju ke ruang guru dengan tujuan ingin meminta surat izin masuk pada guru piket.

Namun, di depan pintu ruang guru tersebut, Fuzi melihat lelaki, yang sebelumnya mengajak Fuzi berboncengan dengannya, sedang berdiskusi dengan guru fisika, pak Samsurizal. Melihat itu Fuzi langsung berucap syukur karena guru fisika itu belum masuk kelas.

“Fuzi... bilang temen sekelasmu, bentar lagi bapak masuk. Coba kerjakan dulu soal yang halaman 175. Bapak sedang berdiskusi mengenai olimpiade sains nanti.” Kata pak samsurizal yang melihat Fuzi berdiri di dekat pintu.

“Iya pak....”

Sambil berjalan menuju kelasnya, Fuzi berfikir, apa mungkin lelaki itu sengaja mengulur waktu masuk pak Samsurizal agar dirinya tidak terlambat masuk. Tapi siapa yang tau, itu hanya dugaannya saja. Yang jelas, pagi itu Fuzi tersenyum penuh syukur. 

“Jadi lelaki itu ngulur waktu buat kakak?”
“Mungkin... hmmm...”

“Tapi masa Cuma itu saja...”

Tidak, bukan hanya itu dua hari yang lalu, Fuzi bertemu lagi dengan lelaki itu setelah lima tahun tidak bertemu karena tempat kuliah mereka yang berbeda. Pertemuan itu terjadi di RS Pranata saat Fuzi sedang memeriksa seorang pasien yang ternyata teman kerjanya lelaki tersebut.

“Adnan kan?”, tanya Fuzi setelah semua pekerjaannya selesai.

“Iya, masa lupa. Bukan karena aku makin tampan kan? Hehehe...”

“Iihh, PeDe-nya ga berubah sejak esema, padahal waktu esempe pendiem banget.”

“Zaman sekarang, ga PD ga hidup katanya. Hehehe... Eh, jadi dokter ya sekarang? Tapi itu sudah aku duga sebelumnya, kamu memang ccocok jadi dokter. Dulu ketika tanganku tetancap staples, kamu langsung sigap, layaknya tim medis.”

“Tertusuk staples? Kapan ya?”

Fuzi mengingat-ngingat masa-masa dia esema. Mencoba mencari kejadian saat tangan jari Adnan tertusuk staples. Dan, Fuzi mengingat saat itu. Saat dimana Adnan dan Fuji harus mengumpulkan laporan praktikium kelompok kimianya.

Saat Adnan akan menjilid laporan praktikum kelompoknya, tanpa sengaja jarinya terstaples. Melihat itu, Fuzi secara reflek memberikan hansaplast yang ada di tasnya dan membalutkannya ke jari Adnan yang luka.

“Walau lukanya kecil tapi jika tidak dirawat dapat menjadi masalah besar nantinya.”

Begitulah perkataan Fuzi saat itu sambil membalutkan hansaplast ke jari Adnan yang terluka.

“Ooohhh... yang itu ya…?”

“Bukan yang itu, tapi yang ini” ucap Adnan sambil mengeluarkan bungkusan rapi, kecil, tipis dan rata dari dompetnya. Sambil membuka dan menunjukkan isi bungkusan tersebut, Adnan melemparkan senyum ke arah Fuzi.

“Itu? Jangan katakan itu bekas hansaplast yang waktu itu.”

“Hehehe... Kalo aku ga bilang begitu, itu namanya aku bo’ong.”

“Kenapa masih di sempen? Emang ada gunanya? Disebut sampah daur ulang pun udah ga cocok.”

“Berguna, dong, buat ngingetin kamu saja jika lupa sama aku. Dan untuk ngingetin aku jika aku akan lupa ama kamu. Karena hanya hansaplasst ini yang kamu berikan dengan sepenuh hati buat aku. Dan kau tau, selama beberapa bulan ini, sejak aku lulus kuliah, aku nyari-nyari kamu.”

“Nyari aku?”

“Iya...untuk nge....”

“Fuziiiii... Ada teman kamu diluar, dia lagi bicara sama bapak,” kata ibunya yang tiba-tiba masuk ke kamar Fuzi.

“Siapa, Bu?”

“Katanya namanya Adnan. Seorang arsitek. Ibu dengar sepintas, katanya dia mengajak bapak untuk membangun rumah.”

Dalam hati Fuzi bergumam, “Ternyata dia serius mau membangun rumah. Rumah tangga...”

Previous Post
Next Post

Oleh:

Terima kasih telah membaca artikel yang berjudul Cerpen: Jangan Remehkan Hal Remeh Apabila ada pertanyaan atau keperluan kerja sama, hubungi saya melalui kontak di menu bar, atau melalui surel: how.hawadis@gmail.com

0 Comments:

--Berkomentarlah dengan baik, sopan, nyambung dan pengertian. Kan, lumayan bisa diajak jadian~