Andai Gue Tahu Hari Esok (persil III)



Gue di pasar hingga sore. Sepulangnya gue melakukan rutinitas seperti biasa dan bersiap-siap menuju  pergi ke undangan ulang tahunnya adik kelas gue itu. Pakaian yang ane kenakan nggak modis-modis amat. Cuma tampilan casual ga jadi karena gue makai baju luaran kemeja putih bukan t-shirt. Setelah semua selesai, kado sudah disiapkan, tulisan puisi ucapan sudah diselipkan, gue langsung esemes temen gue yang juga akan pergi ke acara itu buat ngajak berangkat sama-sama.

Sesampenya di tempat acara, ternyata acaranya belum dimulai. Gue ama temen gue duduk saja sambil menunggu semua undangan hadir. Posisi gue duduk ditepi dinding menghadap ke pintu depan. Ketika beberapa undangan , yang di antaranya juga temen kelas gue, sudah berdatangan, mata gue tertuju pada sesosok  dan sekelebat makhluk yang tidak dikenal. Berkelebat begitu saja. Sedangkan temen-temen gue yang lain sudah berdatangan.

“Dam, lu lihat nggak cewek barusan?” tanya temen di samping gue.

“Lihat..lu lihat juga?”

“Iya, cantik ya?”

“Cantik darimananya, hanya sekelebat, serem iya..”

“Serem apanya, cantik begitu.”

“Lu liat yang mana?”

“Itu, yang lagi duduk, berambut pendek yang pake jaket itam.”

Gue perhatiin bentar orang yang dibilang temen gue tadi.

“Yang itu? Gue kira yang berkelebat di halaman rumah tadi. Tapi penglihatan lu bagus juga, orangnya cantik.”

“Lu kenal nggak?”

“Kayaknya pernah liat lah, tapi dimana ya?? Lupa. Lu na....” belum selesai gue ngomong, temen ane langsung motong.

“Luna? Namanya Luna?”

“maksud gue lu na..nya aja ama orangnya!"

Temen gue langsut sewot. Acara dimulai dengan biasa, seperti acara-acara ulang tahun pada umumnya, ada tiup lilin, doa dan potong kue. Potongan pertama, untuk orang tua, kedua buat sodara, trus buat sahabat. Nah, ketika kue akan dibagikan secara umum, ada temen gue juga yang ngusulin pembagian kue buat orang-orang khusus. Ada tiga kategori waktu itu, ‘orang yang maaf ditolak’, ‘orang yang selalu membahagiakan’ dan ‘orang yang diterima’.

Kategori orang yang diterima nggak jadi dikarenakan tak ada orang yang diterima, padahal yang nembak dia banyak koq. Kasiannnn.....berarti kategori ditolak bakalan banyak nih.
Kategori orang ditolak ternyata hanya satu orang yaitu orang yang barusan ditolak. Ya ampuunnn... udahlah ditolak diumumkan di acara ulang tahun lagi.....ngeriiii...

Untuk kategori yang membahagiakan, temen gue itu memberi sambutannya bentar,
“Kue ini, gue berikan kepada orang yang spesial buat gue, dia bukan siapa-siapa gue, kekasih pun bukan, tetapi dia selalu ada di saat gue sedih maupun senang. Kue ini gue berikan pada abang.....” sambil berjalan dengan senyuman dia menyerahkan kue itu. Dan gue pun menerima kue itu. Iya, gue....

Ketika menerima kue itu, gue bingung, kenapa gue yang dapet ya? Padahal gue nggak dekat-dekat amat dengan dia. Ketemu pun sekali-kali. Itu pun hanya di sekolahan. Tapi penilaian tiap orang kan beda. Mungkin lemparan senyum tiap ketemu itu sangat berarti baginya. Mungkin saja. Karena memang tak ada yang tau.

Setelah acara kue-kuean selesai, akhirnya masuk juga ke acara makan-makan. Acara yang oleh sebagian besar yang hadir dianggap sebagai acara inti, lebih inti dari acara potong lilin dan tiup kue. Karena tiap ada yang ulang tahun pasti ucapannya, “makan-makan” bukan “tiup lilin”.

Gue dan temen-temen yang lain secara bergiliran mengambil makanan. Disaat begini, gue berharap yang ngantri di belakang gue adalah cowok, biar gue leluasa ngambil makanannya tanpa malu. Tapi ternyata, harapan gue musnah, yang di belakang gue adalah cewek yang oleh temen gue dibilang cantik tadi. Hadehh.

Antrian terus berjalan dan entah apa yang ada terjadi di depan, tiba-tiba temen gue yang di depan mundur. Secara reflek tentunya gue juga mundur, walau mundurnya cuma satu langkah kaki kiri, ternyata mengakibatkan hal yang besar. Seperti perkataan Neil amstrong, lompatan kecil bagi manusia namun lompatan besar bagi umat manusia. Tanpa sengaja gue nginjek kaki orang yang ada di belakang gue. Pijakan kecil di kakinya, malu besar di muka gue. Mampus gue. Gue langsung minta maaf ama tuh cewek yang syukurnya dia nggak marah.

“Nggak pa pa.” Katanya.

Dengan senyum malu gue ngelangkah ke depan dan mengambil makanan dengan lebih malu juga. Setelah makanan diambil, minuman diambil, gue milih tempat duduk. Tapi tempat yang masih kosong hanya di bagian pojok ruang yang berisikan meja foto. Ya sudah, gue duduk di situ saja.

Ketika gue sudah menikmati sesendok demi sesendok makanan gue. Cewek yang kakinya gue injek tadi mendekat dan duduk di samping kanan gue.

“Boleh duduk di sini?” tanyanya.

“Boleh.”

Sesudah mempersilahkan begitu, gue mulai makan lagi. Tapi anehnya, makanan itu ga senikmat saat gue baru mulai makan. Saat itu gue belajar satu hal, ternyata makan di samping cewek yang ga lu kenal, yang kakinya lu injek dapat merubah cita rasa suatu makanan. Saat itu makanan gue berasa hambar.

“Lanjut kuliah dimana?” tanya dia seolah sudah mengenal gue.

“Untan.”

“Jurusan?”

“Teknik arsitektur.”

“Dulu gue juga mau tuh kuliah di juran arsitek.”

“Masa’? sekarang ngambil jurusan apa?”

“Manajemen transportasi.”

“Di mana tuh?”

“Di daerah Jawa.”

“Kapan berangkatnya?”

“Tanggal 25 Agustus.”

Saling berbicara tersebut ternyata dapat mengembalikan cita rasa makanan, makanan gue enak lagi. Gadis itu namanya Raisa Arianti. Gue inget-inget kayaknya gue pernah denger nama itu. Gue inget-inget lagi, bongkar semua daftar nama yang pernah masuk di otak gue hingga akhirnya gue tahu siapa gadis ini.

Ketemu. Gadis itu pernah gue lihat di kegiatan MTQ XXII, saat itu dia tampil sebagai mayoret sebuah marching band. Tapi itu bukan pertama kalinya, sebelumnya gue juga udah ngelihat gadis ini di jalan mengendarai motor ketika gue main ke rumah temen gue. Tapi itu bukan pertama kalinya juga, gue juga pernah ngelihat gadis ini ketika esempe gue kunjungan persahabatan ke sekolahan gadis itu waktu kelas tiga. Tapi itu juga bukan pertama kalinya, pertama kali gue ngelihat gadis itu adalah saat gue menghadiri acara Maulid di sekolahannya, iya, saat itu, saat gue kelas dua esempe.

Ketika acara dah selesai dan gue ama temen gue udah mau pulang, gadis itu manggil gue,

“Dam...boleh minta nomor hp-nya?” pintanya.

“Boleh, tukeran ya......”

Setelah tukeran nomor, kami pun pulang.....

Andai gue tau hari esok
Tau semua yang akan menjadi sahabat gue
Sahabat yang benar-benar peduli ama gue
Tentu gue akan menyapanya sejak pertama jumpa
Menyalaminya sejak pertama bertatap
Melempar senyum sejak mata beradu
Tapi gue ga tau hari esok
Sehingga gue harus ngelakuin itu semua
Pada semua yang gue temui
Walau di hari nanti yang gue sapa akan menjadi musuh gue


(Bersambung.....)
Previous Post
Next Post

Oleh:

Terima kasih telah membaca artikel yang berjudul Andai Gue Tahu Hari Esok (persil III) Apabila ada pertanyaan atau keperluan kerja sama, hubungi saya melalui kontak di menu bar, atau melalui surel: how.hawadis@gmail.com

0 Comments:

--Berkomentarlah dengan baik, sopan, nyambung dan pengertian. Kan, lumayan bisa diajak jadian~